Ijarah - Rukun, Jenis dan Ketentuan
Rukun, Jenis dan Ketentuan Ijarah
Rukun Ijarah
Menurut ulama’ Hanafiyah rukun ijarah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan kalimat: al-Ijarah, al-Isti’jar, al-Ikra’ dan al-Iktira’. Akan tetapi menurut jumhur ulama’ rukun Ijarah ada empat:
1. Orang yang berakad (Muajir atau penyewa dan musta’jir atau yang menyewakan barang).
2. Sighat (ijab dan qabul)
3. Ujrah (ongkos sewa)
4. Manfa’ah (Manfaat)
Jenis Ijarah Menurut Objeknya
Berdasarkan obyeknya, Ijarah terdiri dari:
1. Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb.
2. Ijarah dimana obyeknya adalah manfaat dari tenaga seorang seperti
jasa konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa guru/dosen,dll.
Pendapatan yang diterima dari transaksi Ijarah disebut ujrah. Al-Ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya.Adapun syarat manfaat sewa baik sewa barang maupun orang adalah:
1. Manfaat dapat diketahui secara rinci
2. Manfaat dapat disediakan secara nyata
3. Manfaat yang disewa dibolehkan syariah
4. Manfaat yang disewa harus dapat dinilai harganya
5. Manfaat yang disewa bukan pekerjaan wajib/fardhu yang memang wajib dilakukan penyewa
6. Barang disewa tidak cacat yang mencegah pemanfaatannya
Rukun dan Ketentuan Ijarah pada Lembaga Keuangan Syariah
Dalam Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 tentang Pembiayaan Ijarah telah dijelaskan secara rinci tentang Rukun dan Syarat Ijarah, Ketentuan Obyek Ijarah, dan Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah.Adapun Rukun dan Syarat Ijarah menurut Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 tersebut adalah:
1. Pernyataan ijab dan qabul.
2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, LKS), dan penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
3. Obyek kontrak: pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
5. Sighat Ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
Sedangkan ketentuan Obyek Ijarah menurut Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 antara lain:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Berkaitan dengan kelenturan dalam menentukan ujrah dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut:
1. Ujrah dapat ditentukan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. Misalnya, seorang mustakjir berkata kepada Muajjir, ”Jika seseorang menyewa mobil saya bulan ini sewanya Rp 2.500,000 perbulan, jika bulan depan (masa lebaran), sewanya Rp 3.000.000,-“.
2. Contoh lain, “Jika seseorang menggunakan gedung ini untuk bank syariah, sewanya Rp 25 juta setahun, jika anda gunakan untuk Baitul Mal wat Tamwil sewanya Rp 20 juta setahun”.
Sedangkan syarat Ujrah (fee, bayaran sewa) sebagai berikut:
1. Harus termasuk dari harta yang halal
2. Harus diketahui jenis, macam dan satuannya
3. Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari kemiripan riba fadhl.
4. Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
5. Pemilik asset / manfaat dibolehkan meminta pembayaran di muka, baik sebagian maupun seluruhnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda keseriusan penyewa dalam janjinya untuk menggunakan asset / manfaat tersebut.
B. Penanggungan Risiko Dalam Akad Ijarah
Dalam akad Ijarah juga berlaku hak khiyar, dimana penyewa berhak menolak ijarah karena cacat barang (khiyar ‘aib) dan Muajjir bertangung jawab untuk menjamin (mengganti) barang/orang ijarah yang cacat. Hal ini dapat dicontohkan: (a) jika ternyata mobil sewaan atau LCD sewaan rusak, maka muajjir harus menukar dengan barang lain yang bagus; dan (b) Jika ternyata Yayasan X penyalur pembantu mengirim pembantu yang ternyata tidak bisa mengerjakan tugas-tugas yang dijanjikan, maka muajjir harus menggantinya dengan pembantu yang lain.
Konsekuensi Hukum dan Pemeliharaan Asset dalam Akad Ijarah
Terdapat beberapa konsekuensi hukum dan ketentuan tentang tanggungjawab pemeliharaan asset dalam akad Ijarah:
1. Konsekuensi hukum dan keuangan yang timbul dari akad ijarah adalah timbulnya hak atas manfaat dari asset yang disewa oleh penyewa (musta’jir) dan penerimaan fee/ujrah bagi pemilik asset (muajjir).
2. Pemberi sewa (mu’jir) wajib menyediakan manfaat bagi penyewa dari asset yang disewa dengan cara menjaga agar manfaat itu tersedia selama periode penyewaan dalam batas yang normal. Apabila terjadi sesuatu yang membuat manfaat itu terhenti, maka pemberi sewa wajib memperbaikinya/menggantinya.
3. Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang menanggung biaya pemeliharaan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas. Hal ini sesuai dengan kaedah Al-Ajru wa adh Dhaman La Yajtami’ani. Artinya: pembayaran fee (bayaran sewa) tidak boleh berhimpun dengan biaya perbaikan kerusakaan.
C. Perbedaan Dokumen Leasing Konvensional
Pada dasarnya perbedaan antara dokumen akad ijarah dengan leasing konvensional terletak pada akad yang disebut dalam dokumen tersebut. Ada beberapa perbedaan dan persamaan antara ijarah dan leasing. Terdapat beberapa aspek yang dapat digunakan untuk melihat perbedaan dan persamaan antara ijarah dan leasing, yaitu (Karim, 2006):
1. Pertama, dari sisi objek kontrak. Jika melihat dari segi obyek penyewaan, leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja. Jadi yang disewakan dalam leasing terbatas pada manfaat barang saja. Sedangkan dalam kontrak ijarah objek transaksinya bisa berupa manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa, sedangkan bila untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja disebut upah-mengupah. Dengan demikian secara cakupan objek, ijarah memiliki cakupan yang lebih luas.
2. Kedua, perpindahan kepemilikan. Dalam operating lease tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset baik di awal maupun di akhir periode sewa. Dalam hal ini praktik ijarah sama dengan operating lease, tidak ada perpindahan kepemilikan baik di awal maupun akhir periode. Berikutnya dalam financial lease, sudah disepakati dari awal bahwa penyewa akan membeli atau tidak membeli aset yang disewa tersebut. Sedangkan varian lain dari akad Ijarah adalah akad Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (IMBT) yang memiliki ketentuan bahwa pihak yang menyewakan berjanji diawal periode kepada pihak penyewa apakah akan menjual barang tersebut atau menghibahkannya. Dengan demikian ada dua jenis IMBT, yaitu: IMBT dengan janji menghibahkan barang di akhir periode sewa dan IMBT dengan janji menjual barang pada akhir periode sewa.
3. Ketiga, lease-purchase (sewa-beli). Hal ini merupakan variasi kontrak lainnya dari leasing, yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak sewa-beli ini perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak ini dibatalkan maka barang tersebut terbagi menjadi milik penyewa dan yang menyewakan. Menurut syariah akad ini diharamkan karena adanya shafqatain fi al-shafqah (two ini one). Hal ini menyebabkan gharar dalam akad, yakni ada ketidakjelasan apakah akad sewa atau akad beli yang digunakan.
Post a Comment for "Ijarah - Rukun, Jenis dan Ketentuan "