Syuf’ah & Syirkah (Fiqh Muamalah)
PEMBAHASAN
A. Syuf’ah
a. Pengertian Syuf’ah
Menurut Syech Ibrahim al-Bajuri yaitu Hak
memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik
yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian yang dimilikinya,
disyariatkan untuk mencegah kemudharatan”. Sedangkan menurut menurut Idris Ahad
yaitu hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan
jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama .
Dari definisi tersebut kiranya kami dapat
memberikan satu contoh kasus yaitu “Ishaq dan Zulman membeli sebuah apartemen
secara bersamaan (Syarikat/kongsi), apartemen tersebut berkapasitas enam kamar,
tiga kamar untuk Ishaq dan tiga kamar lagi untuk Zulman. Kemudian Ishaq mau
menjualnya kamar tersebut kepada orang lain, dalam hal ini Ishaq dapat memaksa
Zulman untuk membelinya dengan imbalan sebagaimana berlaku, artinya Zulman
berhak untuk membelinya daripada orang lain” (Baca Juga : Prinsip dan Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah)
b. Rukun dan syarat Syuf’ah
Rukun-rukun dan syarat-syaratnya sebagai
berikut:
1. Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang
syuf’ah
Syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:
- Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang
berbentuk barang tetap (Uqar), seperti tanah, rumah, dan hal-hal yang berkaitan
dengan keduanya seperti tanaman, bangunan, pintu-pintu, pagar, atap rumah dan
semua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas. Pendapat ini adalah
pendapat jumhur ahli fiqh, sedangkan alasan yang digunakan sebuah hadits dari
Jabir r.a.:
قضى رسول الله ص م باالشفعة فى كل شركة لم تقسم
ربعة اوحائط
“Rasulullah SAW menetapkan untuk setiap benda
syirkah yang tidak dapat dibagi-bagi seperti rumah.”
Pendapat di atas dibantah oleh segolongan
penduduk Mekkah, al-Zahiriyah dan suatu riwayat dari Ahad. Mereka berpendapat
bahwa Syuf’ah berlaku untuk segala benda karena bahaya atau kemudharatan yang
mungkin dapat terjadi partner dalam jual benda-benda tetap dapat terjadi pula
terjadi pada partner pada jual beli benda-benda bergerak (benda yang dapat
dipindahkan). Mereka juga beralasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir
r.a.:
قضى رسول الله ص م باالشفعة فى كل شيئ
“Rasulullah SAW menetapkan Syuf’ah dengan
segala sesuatu.”
Ibn Qayyim mengatakan bahwa para perawi hadits
ini adalah Syiqat.
Dalil lain yang digunakan hadits riwayat Ibnu
Abbas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:
الشفعة فى كل شيئ
“Syuf’ah berlaku untuk segala sesuatu”
Ibnu Hazm berpendapat Syuf’ah wajib pada setiap
penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi anatara dua orang atau lebih
dlam bentuk apapun yang pada awalnya terbagi-bagi,berupa tanah, pohon, pedang,
makanan, binatang atau apa saja yang tidak dapat dijual.
Barang yang disyuf’ahkan keluar dari pemilikan
dengan penggantian harta seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti
pengakuan (pernyataan) dengan jalan damai atau karena adanya faktor jinayat
atau hibbah dengan cara penggantian sesuatu karena pada hakikatnya ini adalah
penjualan.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa syuf’ah hanya
berlaku bagi barang yang dijual, dengan alasan mengambil makna lahiriyah
hadits-hadits tentang syuf’ah. Dengan demikian tidak ada syuf’ah untuk barang
yang berpindah tangan selain jual beli, seperti barang yang dihibbahkah tanpa
ganti, diwasiatkan dan diwariskan. (Baca Juga : Prinsip dan Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah)
2. Syafi’, yaitu orang yang akan mengambil atau
menerima syuf’ah
Syarat-syarat Syuf’ah sebagai berikut:
- Orang yang membeli secara syuf’ah adalah
partner dalam benda/barang tersebut. Perpartneran mereka lebih dahulu terjalin
sebelum penjualan, tidak adanya perbedaan batasan di antara keduanya sehingga
benda itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
Dalam hadits Riwayat Khamsah dari Jabir r.a.
dinyatakan:
قضى رسول الله ص م باالشفعة فى كل مالم يقسم
فاذاو قعدت الحدود وصرفت الطرق فلا شفعة
“Rasulullah SAW menetapkan Syuf’ah untuk segala
jenis yang tidak dipecah dan apabila terjadi batasan hak (had), kemudian
perbedaan hak sudah jelas, maka tidak ada syuf’ah”
Ali, Utsman, Umar, Syaid al-Musayyab, Sulaiman
bin Yasar, umar bin Abdul Aziz, Rabiah Malik, Syafi’i, Audza’i, Ishaq,
Ubaidillah bin Hasan dan imamiyah berpendapat bahwa syuf’ah tidak berlaku
terhadap barang yang apabila dibagi atau dipecahkan akan hilang manfaatnya
seperti kamar mandi dan WC.
Imam Malik meriwayatkan dari Syihab bin Abi
Salamah bin Abdurrahman dan Said al-Musayyad:
ان رسول الله ص م قضى باالشفعة فيما لم يقسم بين
الشركاء فاذا وقعت الحدود بينهم فلا شفعة
“Bahwa Rasullah SAW menetapakan syuf’ah untuk
benda yang belum dibagi antara yang berserikat, jika terjadi pembatasan anatara
mereka maka tidak ada syuf’ah.”
Tetangga menurut kebanyakan ulama tidak
mendapatkan syuf’ah. Berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi, menurutnya syuf’ah
itu bertingkat-tingkat, pertama adalah partner yang belum dibagi, kemudian
partner yang sudah dibagi (Syarik Muqasim) dan terakhir tetangga yang
berhimpitan.
Sebagian ulama ada yang mengambil jalan tengah,
pendapat ini menetapkan syuf’ah untuk benda-benda bersama seperti jalan, air
dan sejenisnya. Pendapat ini menafikan dalam keadaan terbedakannya tiap-tiap
milik dengan jalan tidak adanya kebersamaan dalam barang dimiliki, untuk itu
mereka beralasan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ashab al-Sunnah dari
Jabi r.a. bahwa nabi SAW bersabda:
الجارأحق بشفعة جاره ينتظر بها وإن كان غا ئبا
اذا كان طريقهماواحدا
“Tetangga adalah yang paling berhak mendapat
syuf’ah milik tetangganya, ia boleh menunggu tetangganya jika ia tidak ada di
tempat, apabila memang jalannya (dimana milik mereka berada) satu.”
- Syarat yang kedua adalah Syafi’i meminta
dengan segera.
Maksudnya, Syafi’i telah mengetahui penjualan,
ia wajib meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan. Jika ia telah
mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan tanpa adanya uzur (alasan),
maka haknya gugur. Alasannya ialah jika Syafi’i memperlambat permintaannya
niscaya hal ini berbahaya bagi pembeli karena kepemilikannya terhadap barang
yang sudah dibeli tidak mantap dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk
membangunnya karena takut tersia-sianya usaha dan takut Syuf’ah.
Jika Syafi’i tidak ada atau belum mengetahui
penjualan atau tidak mengetahui bahwa memperlambat dapat menggugurkan syuf’ah
maka dalam hal ini haknya tidak gugur. Riwayat dari Abu Hanifah bahwa
permintaan tidak wajib dengan segera mengetahui , karena Syafi’i memerlukan
timbangan dalam persoalan ini, maka berhak khiar seperti khiar dalam jual beli.
- Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah
harga yang telah ditentukan ketika akad, kemudian Syafi’i mengambil Syuf’ah
harga yang sama jika jual beli Mitslian atau dengan suatu nilai jika
dihargakan.
Dalam satu hadits dari Jabir r.a. yang
diriwayatkan oleh Al-Jauzzani, Rasullah bersabda:
هوأحق به بالثمن
“Syafi’i lebih berhak dengan harganya”
Apabila Syafi’i tidak mampu menyerahkan
keseluruhan harga, maka gugurlah Syuf’ah.
Mazhab Maliki dan mazhab Hanbali berpendapat
bahwa apabila harga ditangguhkan semuanya atau sebagiannya, maka Syafi’i boleh
menangguhkannya atau membayar dengan cicil (kredit) sesuai dengan perjanjian
ketika aqad, dengan Syarat bahwa syafi’i orang kaya atau ada penjaminnya. Jika
tidak demikian, ia wajib membayar Cash (kontan)
- Syafi’i mengambil keseluruhan barang
Maksudnya, jika Syafi’i meminta untuk mengambil
sebagian, maka semua haknya gugur. Apabila syuf’ah terjadi antara dua Syafi’i
atau lebih, sebagian Syafi’i melepaskannya, maka Syafi’i yang lain harus
menerima semuanya. Hal ini dimaksudkan agar benda syuf’ah tidak terpilah-pilah
atas pembeli.
3. Masyfu min hu, yaitu orang tempat mengambil
syuf’ah
Diisyaratkan pada Masyfu min hu ini bahwa ia
memiliki benda terlebih dahulu secara syarikat, contohnya ialah Heri dan
Ardians memiliki sebuah rumah syarikat. Heri menjualnya miliknya kepada Helmi,
dengan waktu khiarnya hingga tanggal 29 Desember 2010. Kemudian Ardians menjual
pula miliknya kepada Muzakkir. Maka dalam hal ini Helmi dapat melakukan
tindakan Syuf’ah kepada Muzakkir.
c. Pewarisan Syuf’ah
Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa syuf’ah
dapat diwariskan dan tidak batal karena adanya kematian.
Jika seorang berhak memperoleh syuf’ah,
kemudian meninggal dunia dan dia dlam keadaan tidak tahu atau belum mengetahui
atau ia tahu meninggal tetapi sebelum dapat melakukan pengambilan, maka haknya
beralih kepada ahli waris. Alasannya ialah bahwa syuf’ah diqiyaskan kepada irts
(warisan)
B. Syirkah
a. Pengertian Syirkah
Syirkah yaitu suatu perjanjian kerja sama
antara dua orang atau lebih yang menghendaki tetapnya bersama dalam sesuatu
usaha atau perdagangan. Artinya dua orang atau lebih berserikat di dalam jumlah
harta tertentu, guna memperoleh keuntungan bagi mereka bersama.
Menurut istilah yang dikemukan Fukaha yaitu:
- Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksudnya yaitu
“Antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”
- Menurut Muhammad al-syarbini al-Khatib yang
dimaksudnya yaitu “ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan
cara yang masyhur (diketahui)”
- Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi yaitu “akad yang
berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu
untuk usaha dan membagi keuntungan”
Setelah diketahui definisi kiranya dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan Syirkah ialah kerja sama antara dua pihak
atau lebih dalam berusaha, kemudian keuntungan dan kerugiannya ditanggung
bersama.
Dasar hukum syirkah yaitu dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda:
أناثالث الشريكين مالم يخن احدهماصاحبه فإذا خانه
خرجت من بينهما
“Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang
berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lain, maka keluarkan aku
darinya”
b. Rukun dan syarat Syirkah
Menurut ulama Hanafiah bahwa rukun syirkah ada
dua, yaitu ijab dan kabul ebab ijab kabul (aqad) yang menentukan adanya
syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad seperti
terdahulu dalam akad jual beli.
Syarikat itu mempunyai lima syarat, yaitu:
1. Dengan modal uang tunai
2. kedua orang atau lebih berserikat sepakat
menyerahkan modal mencampurkan antara harta-harta anggota serikat dan mereka
bersepakat dalam jenis dan macam perusahaan
3. dua orang atau lebih harus mencampur kedua
harta ( sahamnya ), sehingga tak dapat di beda-bedakan satu dari yang lain.
4. seorang di antara mereka mengizinkan teman
serikatnya untuk membelanjakan hartanya, kalau serikat itu hanya terdiri dari
dua orang.
5. untung dan rugi diatur dengan perbandingan
modal harta serikat yang di berikannya.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian
dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh dan pintar.
Dijelaskan pula oleh Abdurrahman al-Jaziri
bahwa rukun syirkah adalah dua orang (pihak) yang berserikat, shighat dan objek
akad syirkah baik harta maupun kerja. Syarat-syarat syirkah dijelaskan oleh
Idris Ahad sebagai berikut:
- Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin
masing-masing anggota serikat kepada pihak yang mengendalikan harta itu.
- Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab
masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya.
- Mencampurkan harta sehingga tidak dapat
dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
c. Macam-macam Syirkah
Menurut Hanafiyah, secara garis besar Syirkah
dibagi dua bagian, yaitu Syirkah Milk (perserikatan dalam pemilikan) dan
Syirkah ‘Uqud(perserikatan berdasarkan suatu akad). Syirkah milk juga dibagi
dua macam: syirkah milk jabar dan syirkah milk ikhtiyar. Syirkah ‘uqud dibagi
tiga macam, yaitu syirkah ‘uqud mal, syirkah ‘uqud bil badan dan syirkah bil
wujuh. Syirkah ‘uqud bil mal dibagi dua: syirkah ‘uqud bil abdan mufawadhah dan
syirkah ‘uqud bil mal ‘inan. Syirkah bil abdan dibagi dua yaitu syirkah bil abdan
mufawadhah dan syirkah bil abdan ‘inan. Syirkah ‘uqud bil wujuh dibagi menjadi
dua bagian: syirkah ‘uqud bil wujuh mufawadhah dan syirkah ‘uqud bil wujuh
‘inan.
- Syirkah Milk ialah dua orang atau lebih
memilikkan suatu benda kepada yang lain tanpa ada akad syirkah
- Syirkah ‘Uqud ialah akad yang terjadi antara
dua orang atau lebih untuk berserikat dalam harta dan keuntungan.
- Syirkah al-Jabr ialah berkumpulnya dua orang
atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa.
- Syirkah ikhtiar ialah berkumpul dua orang
atau lebih dalam pemilikan benda dengan ikhtiar keduanya
- Syirkah bil mal ialah kesepakatan dua orang
atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil
dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian
yang ditentukan dari keuntungan.
- Syirkah bil wujuh ialah dua orang berserikat
atau pihak yang tidak harta di dalamnya tetapi keduanya sama-sama berusaha
- Syirkah al-wujuh mufawadhah ialah keduanya
termasuk ahli kafalah dan dalam pembelian masing-masing setengah.
- Syirkah al wujuh ‘ain ialah sesuatu
ikatan-ikatan yang berkeseimbangan seolah-olah bukan ahli kafalah atau seperti
tak ada kelebihan bagi penjual dan pembeli.
Menurut malikiyah, syirkah dibagi beberapa
bagian, yaitu al irts, syirkah al ghanimah dan syirkah al mutaba’ain syai’a
bainahuma.
- Syirkah al irts ialah berkumpulnya para
pewaris dalam memiliki benda dengan cara pewarisan
- Syirkah ghanimah ialah berkumpulnya para
tentara dalam pemilikan ghanimah
- Syirkah al mubtaba’ain syai’a bainahuma ialah
dua orang atau lebih berkumpul dalam pembelian rumah dan yang lainnya.
Menurut Hanabilah Syirkah itu dibagi dua, yaitu
Syirkah Fil Mal dan Syirkah Fil ‘Uqud, menurut mazhab ini syirkah mal ialah
berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan barang dengan waris, pembeli,
pemberian atau lainnya. Syirkah ‘uqud dibagi lima macam, yaitu syirkah ‘inan,
syrkah wujuh, syirkah abdan, syirkah mufawadhah dan syirkah mudharabah
d. Cara Membagi Keuntungan dan Kerugian
Membagi keuntungan atau kerugian tergantung
besar dan kecilnya modal yang ditanamkan. Cara seperti tabel berikut
Nama Anggota Modal Masing-Masing Jumlah modal
Laba Persetase laba
Zulkarnen Rp. 1.500.000 Rp. 6.000.000 Rp.
600.000 1500000:6000.000= 0.25
0.25 X 600.000= 150.000
Delvita Rp. 1.000.000 1.000.000:6.000.000=0.166
0.166 X 600.000= 100.000
Maisarah Rp. 500.000 500.000:6.000.000= 0.083
0.083 X 600.000= 50.000
Muzakkir Rp. 3.000.000 3.000.000:6.000.000 =
0.5
0.5 X 600.000 = 300.000
Jumlah modal masing-masing dibagi dengan jumlah
keseluruhan modal kemudian dikali dengan laba (keuntungan).
e. Mengakhiri Syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal
berikut.
1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun
tanpa persetujuan pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi
atas dasar rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk
dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini
menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk
bertasharruf (keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun karena alasan
lain.
3. Salah satu meninggal dunia, tetapi apabila
anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
Syirkah berjalan terus pada anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris
anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka
dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
4. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan,
baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah sedang berjalan
maupun sebab lainnya.
5. salah satu pihak jatuh bangkrut yang
berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat
ini dikemukakan oleh mazhab syafi’i, maliki dan handali. Hanafi berpendapat
bahwa bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan
oleh bersangkutan.
6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum
dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi
percampuran harta hingga tidak dapat dipisahkan lagi, yang menanggung resiko
adalah para pemilik sendiri. Apabila harta lenyap setelah percampuran yang
tidak bisa dipisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa
harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
(Baca juga: Kiat - kiat mudah agar diterima dengan cepat oleh Google Adsense)
Post a Comment for "Syuf’ah & Syirkah (Fiqh Muamalah)"