Musyarakah (perbankan syariah)
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
dunia kontemporer ada sebuah dilema bagi entrepreneur (pengusaha, mudharib)
yang mempunyai ide yang menjanjikan bagi sebuah usaha baru. Bagaimana ia
mencapai usaha yang dibutuhkannya untuk menjalankan idenya tersebut. Meminjam
uang merupakan jawaban keluarnya. Jika suku bunga normal bisa 10% dan untuk
usaha ditambah 10% untuk kesempatan gagal dalam setahun, jadi peminjam akan
dikenakan suku bunga 16%. Interest yang tinggi ditambah amortisasi akan
menentukan biaya tetap pada usaha itu dari permulaan dan ini akan meningkatkan
bahaya kegagalan untuk mengembalikan bunga. Lebih parah lagi, jika usaha tidak
dapat diprediksikan dengan konfidensi yang beralasan, usaha itu akan sulit
bahkan untuk mengkalkulasikan tingkat suku bunga yang cocok. Alternatif dari
ini adalah keharusan entrepreneur untuk mengizinkan partner masuk kedalam bisnisnya dan membagi porsi
profit yang didapatkan dari usaha, ijka ada sebagai pertukaran terhadap
konstribusi modalnya dalam usaha itu. Kompensasi partner ditentukan secara
otomatis oleh keberhasilan bisnis. Tidak perlu menghitung suku bunga dan tidak ada biaya utang yang tetap, partner
akan menerima profitnya jika hanya ada pendapatan yang mendatangkan profit.[1]
Akad
bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para ulama
adalah akad dengan pola bagi hasil dengan prinsip mudharabah (trustee profit
sharing) dan musyarakah (joint venture profit sharing). Prinsipnya adalag al
ghunm bi’l ghurm atau al kharaj bi’l daman, yang berarti bahwa tidak ada bagian
keuntungan tanpa ambil bagian dalam risiko atau untuk setiap keuntungan ekonomi
riil harus ada biaya ekonomi riil. (Baca Juga : Prinsip dan Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah)
Namum
demikian, itu tidak berarti bahwa konsep bagi hasil tidak dapat diterapkan
untuk pembiayaan suatu usaha yang sedang berjalan.Konsep bagi hasil
berlandaskan pada beberapa prinsip dasar. Selama prinsip-prinsip dasar itu
dapat dipenuhi, detail aplikasinya akan bervariasi dari waktu ke waktu. Ciri
utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama
baik oleh pemilik dana maupun pengusaha.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MUSYARAKAH
DAN PENGHIMPUNANNYA
Musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana
(modal) untuk mencampurkan dana mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya,
sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana berdasarkan bagian dana
masing-masing.[3]
Musyarakah disebut juga dengan syirkah.Daam syirkah,
dua orang atau lebih mitra untuk memberi modal guna menjalankan usaha atau
melakukan investasi untuk suatu usaha. Hasil usaha atas mitra usaha dalam
syirkah akan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati oleh pihak-pihak
yang berserikat.[4] (Baca Juga : Prinsip dan Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah)
Setiap mitra kerja sama harus menyediakan dana dan
pekerjaan dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. Sorang mitra juga
tidak diizinkan untuk mencairkan atau mengivestasikan dana untuk kepentingannya
sendiri. Adapun modal yang diberikan
harus uang tunai, emas, perak atau nilai yang sama. Modal juga bisa asset
perdagangan seperti barang-barang, properti dan sebagainya.Jika modal berbentuk
aset, tentu harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para
mitra.[5]
Dalam
sebuah transaksi musyarakah, tentu harus ada rukun dalam menjalankan transaksi
tersebut. Adapun rukun musyarakah yaitu :
Ø Para
pihak yang ber-syirkah
Ø Porsi
kerja sama
Ø Proyek/usaha
(masyru’)
Ø Ijab
qabul (sighat)
Ø Nisbah
bagi hasil.[6]
B.
JENIS
MUSYARAKAH
Musyarakah
dibagi menjadi dua jenis yaitu syirkah al Milk dan syirkah al Uqud.
Ø Syirkah
al Milk
Syirkah
al Milk dapat diartikan sebagai kepemilikan bersama antara pihak yang
berserikat dan keberdaannya muncul pada saat dua orang atau lebih secara
kebetulan memperoleh kepemilikan bersama atau suatu kekayaan tanpa adanya
perjanjian kemitraan yang resmi.Syirkah al Milk biasanya berasal dari warisan.[7]
Ø Syirkah
al Uqud
Syirkah
al Uqud (syirkah al ‘aqd) yang berarti kemitraan yang terjadi karena adanya
kontrak bersama atau usahakomersial bersama.syirkah al Uqud itu sendiri ada
empat yaitu :
ü Syirkah
al amwal (syirkah al ‘inan) yaitu usaha komersial bersama ketika semua mitra
usaha ikut andil menyertakan modal dan kerja, yang tidak harus sama porsinya,
ke dalam perusahaan.
ü Syirkah
Mufawadhah yaitu usaha komersial bersama dengan syarat adanya kesamaan pada
penyertaan modal, pembagian keuntungan, pengelolaan, kerja dan orang.
ü Syirkah
Abdan yaitu usaha komersial bersama ketika semua mitra usaha ambil bagian dalam
memberikan jasa kepada pelanggang.[8]
ü Syirkah
Wujuh yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa
modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama
mereka.[9]
C.
SKEMA
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA BANK SYARIAH
Dalam pembiayaan
musyarakah, bank syariah memberikan modal sebagian dari total keseluruhan modal
yang diburtuhkan. Bank syariah dapat menyertakan modal sesuai porsi yang
disepakati dengan nasabah.Misalnya, bank syariah memberikan modal 70% dan 30%
sisanya berasal dari nasabah. Pembagian hasil keuntungan, tidak harus dihitung
dengan sesuai porsi modal yang ditetapkan, akan tetapi sesuai denga kesepakatan
dalam kontrak awal, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank syariah. (Baca Juga : Prinsip dan Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah)
Skema Musyarakah:
1.Akad
pembiayaan musyarakah
3. Modal 30 % 2.
Modal 70 %
4.
Pengelolaan Usaha
Bagi hasil 60%
Bagi hasil 40%
Modal 30% Modal 70%
Penjelasan skema musyarakah:
1. Bank
syariah (shahibul maal 1) dan nasabah (shahibul maal 2) menandatangani akad
pembiayaan musyarakah.
2. Bank
syariah menyerahkan dana sebesar 70% dari kebutuhan proyek usaha yang akan
dijalankan oleh nasabah.
3. Nasabah
menyerahkan dana 30% dan menjalankan usaha sesuai dengan kontrak.
4. Pengelolaan
proyek usaha dijalankan oleh nasabah, dapat dibantu oleh bank syariah atau
menjalankan bisnisnya sendiri, bank syariah memberika kuasa kepad nasabah untuk
mengelola usaha.
5. Hasil
usaha atas kerja sama yang dilakukan antara bank syariah dan nasabah sesuai
dengan nisbah yang telah dperjanjikan dalam akad pembiayaan, misalnya 60% untuk
nasabah dan 40% untuk bank syaraih. Namum dalam hal terjadi kerugian, maka bank
syariah akan menanggung kerugian sebesar 70% dan nasabah menanggung kerugian
sebesar 30%.
6. Setelah
kontrak berakhir, mak modal dikembalikan kepada masing-masing mitra kerja,
yaitu 70% dikembalikan kepada bank syariah dan 30% dikembalikan kepada nasabah.[10]
Contoh Musyarakah :
Pak Usman adalah
seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek. Usaha tersebut
membutuhkan modal sejumlah Rp 100.000.000.Ternyata, setelah dihitung pak Usman
hanya memiliki Rp 50.000.000 atau 50% dari modal yang diperlukan.Pak Usman
kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiyaan dengan skema
musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp 100.000.000
dipenuhi 50% dari nasabah dan 50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk
bank.
Seandainya
keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp 20.000.000 dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati
adalah 50:50 (50% untuk nasabah dan 50% untuk bank syariah), pada akhir proyek
pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp 50.000.000 (dana pinjaman dari
bank) ditambah Rp 10.000.000 (50% dari keuntungan untuk bank).[11]
Beberapa syarat
pokok musyarakah antara lain:
a. Syarat
akad, hubungan yang dibentuk oleh para mitra melalui kontrak/akad yang
disepakati bersama.
b. Pembagian
keuntungan dan atau kerugian dalam kerja sama modal dinilai secara
proporsional.
c. Proporsi
keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad
sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
d. Pembagian
kerugian , setiap mitra menanggung kerugian sesuai dengan porsi investasinya.
e. Sifat
modal, modal yang diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal
likuid. Hal ini berarti bahwa akad musyrakah hanya dapat dengan uang dan tidak
dapat dengan komoditas.
f. Manajemen
musyarakah, bahwa setiap mitra mempunyai hak untuk ikut serta dalam manajemen
dan bekerja untuk usahanya.
g. Penghentian
musyarakah, jika salah seorang mitra meninggal dunia pada saat musyarakah masih
berjalan, kontrak tetap berakhir atau dihentikan.
h. Penghentian
musyarakah tanpa menutup usaha, jika salah seorang mitra ingin mengakhiri
musyarakah sedangkan mitra lain ingin tetap meneruskan, maka hal ini dapat
dilakukan dengan kespakatan bersama. Mitra yang ingin tetap menjalankan usaha
dapat membeli saham dari ingin mitra yang ingin berhenti.[12] (Baca Juga : Prinsip dan Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah)
BAB
III
KESIMPULAN
Musyarakah adalah penanaman dana
dari pemilik dana (modal) untuk mencampurkan dana mereka pada suatu usaha
tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana berdasarkan bagian
dana masing-masing.
Rukun
musyarakah yaitu :
Ø Para
pihak yang ber-syirkah
Ø Porsi
kerja sama
Ø Proyek/usaha
(masyru’)
Ø Ijab
qabul (sighat)
Jenis-jenis musyarakah:
ü Musyarakah
al Milk
ü Musyarakah
al Uqud (akad) :
o Syirkah
‘Inan
o Syirkah
Mufawadhah
o Syirkah
Abdan
o Syirkah
Wujuh
Musyarakah merupakan akad dengan
cara bagi hasi yang dimana bagi hasilnya sesuai dengan kesepakatan antara bank
syariah dengan nasabah dalam menjalankan suatu proyek. Begitu juga dalam hal
kerugiaan, dimana kerugian ditanggung bersama-sama antara pemilik modal pertama
atau bank syariah dengan pemilik modal yang kedua atau nasabah. (Baca Juga : Cara Mengetahui Maqashid Syari'ah ...)
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2011.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Ahmad Ilham Solihin, Ini Lho Bank Syariah!,Jakarta Timur:
Hamdalah, 2008.
Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syaria: Dari Teori
ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Sunarto
Zulkifli,Paduan Praktis Transaksi
Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim, 2007
M. Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam.Jakarta: Raja Grafindo
Persada,
2004.
M.Umer Chapra dkk, Keuangan dan Investasi Syari’ah; Sebuah Analisa Ekonomi, Banda Aceh : Yayasan
PeNA, 2008.
[1]M.Umer Chapra dkk, Keuangan dan Investasi Syari’ah; Sebuah
Analisa Ekonomi,(Banda Aceh : Yayasan PeNA, 2008),
hal. 216
[2]Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,(Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hal. 48-49
[3]Ahmad Ilham Solihin, Ini Lho Bank Syariah!,(Jakarta Timur:
Hamdalah, 2008), hal.151
[4]Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana,
2011), hal. 176
[5]Ahmad Ilham Solihin, Ini Lho Bank Syariah!...hal. 152-153
[6]Sunarto Zulkifli,Paduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah,(Jakarta:
Zikrul Hakim, 2007), hal. 56.
[7]Ismail, Perbankan Syariah…hal. 177
[8]Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah…hal.50
[9]M. Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam.(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 164
[10]Ismail, Perbankan Syariah…hal.181-182
[11]Muhammad Syafi’I
Antonio, Bank Syaria: Dari Teori ke
Praktik,(Jakarta: Gema Insani, 2001), hal., 173
[12]Ascarya.Akad & Produk Bank Syariah…hal.
53-59
Post a Comment for "Musyarakah (perbankan syariah)"