PENGERTIAN MAQASHID AL-SYARI'AH DAN KANDUNGANNYA
Pengertian Maqashid al-syari'ah
Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum (Asafri Jaya, 1996:5). Izzuddin ibn Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam (2001:125), mengatakan bahwa segala taklif hukum selalu bertujuan untuk kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allah tidak membutuhkan ibadah seseorang, karena ketaatan dan maksiat hamba tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kemulian Allah. Jadi, sasaran manfaat hukum tidak lain adalah kepentingan manusia. (Baca Juga : Penggalian Maqashid Syari'ah...)
Menurut Satria Efendi (1998:14), maqashid al-syari'ah mengandung pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid al-syari' (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum).
Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum. Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017) mendefinisikan maqashid syari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya. (Baca Juga : Penggalian Maqashid Syari'ah...)
Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangat penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab Khallaf (1968:198), seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-syari'ah (tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili (1986:1017), yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-rahasia syari'ah. (Baca Juga : Penggalian Maqashid Syari'ah...)
Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam AlQur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat AlAnbiya' :107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus :
"Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya':107)
Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi. Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat dijelaskan sendiri oleh Allah, sebagaimana yang termaktub dalam ayat berikut:
"Ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan tenteram". (QS. Al-Ra'd:28)
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar".( QS Al-'Ankabut:45)
Memang ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara langsung oleh syari' (pembuat syari'at) dan akalpun sulit untuk membuat rasionalisasinya, seperti penetapan waktu shalat zhuhur yang dimulai setelah tergelincirnya matahari. Meskipun begitu tidaklah berarti penetapan hukum tersebut tanpa tujuan, hanya saja barangkali rasionalisasinya belum dapat dijangkau oleh akal manusia.
Kandungan maqashid al-syari'ah dapat diketahui dengan merujuk ungkapan al-Syathibi (tanpa tahun:6), seorang tokoh pembaru ushul fiqh yang hidup pada abad ke-8 Hijriah, dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Di situ beliau mengatakan bahwa sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjangjenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua manusia. (Baca Juga : Penggalian Maqashid Syari'ah...)
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia.
(Baca Juga : 5 Trik Cara Menghematkan Hp Android Tanpa Aplikasi)
Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara :
1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini bisa dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada waktu yang akan datang.
2. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering diistilahkan dengan dar' al-mafasid.
Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Post a Comment for "PENGERTIAN MAQASHID AL-SYARI'AH DAN KANDUNGANNYA "