PENGGALIAN HUKUM MELALUI MAQASHID AL-SYARI'AH
Menurut telaah historis, Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid al-syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam sebelum ia memahami benar-benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Pada prinsipnya Al-Juwaini (1400H:295) membagi tujuan tasyri' menjadi tiga macam, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan mukramat.
Pemikiran al-Juwaini terebut dikembangkan oleh muridnya, al-Ghazali, yang menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas. Maslahat menurut al-Ghazali (tanpa tahun:251) dicapai dengan cara menjaga lima kebutuhan pokok manusia dalam kehidupannya, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqashid al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari mazhab Syafi'iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat. (Baca Juga : Cara Mengetahui Maqashid Syari'ah ...)
Menurutnya taklif harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa Izzuddin ibn Abd al-Salam telah berusaha mengembangkan konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari maqashid al-syari'ah. (Amir Mu'alim dan Yusdani, 2001:51)
Pembahasan tentang maqashid al-syari'ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu. Di situ ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, taklif hukum harus mengarah pada realisasi tujuan hukum tersebut. (Baca Juga : Cara Mengetahui Maqashid Syari'ah ...)
Wahbah al-Zuhaili (1986:1019) dalam bukunya menetapkan syaratsyarat maqashid al-syari'ah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai maqashid al-syari'ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu :
1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.
2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan tujuan disyariatkannya perkawinan.
3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau batasan yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang merupakan tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah kemabukan.
4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk memberikan nafkah sebagai persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab Maliki.
Lebih lanjut, al-Syathibi (tanpa tahun:70) dalam uraiannya tentang maqashid al-syari'ah membagi tujuan syari'ah itu secara umum ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan syari'at menurut perumusnya (syari') dan tujuan syari'at menurut pelakunya (mukallaf). Maqashid al-syari'ah dalam konteks maqashid al-syari' meliputi empat hal, yaitu :
1. Tujuan utama syari'at adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
2. Syari'at sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Syari'at sebagai hukum taklifi yang harus dijalankan.
4. Tujuan syari'at membawa manusia selalu di bawah naungan hukum.
Keempat aspek di atas saling terkait dan berhubungan dengan Allah sebagai pembuat syari'at (syari'). Allah tidak mungkin menetapkan syari'atNya kecuali dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tujuan ini akan terwujud bila ada taklif hukum, dan taklif hukum itu baru dapat dilaksanakan apabila sebelumnya dimengerti dan dipahami oleh manusia. Oleh karena itu semua tujuan akan tercapai bila manusia dalam perilakunya sehari-hari selalu ada di jalur hukum dan tidak berbuat sesuatu menurut hawa nafsunya sendiri. (Baca Juga : Cara Mengetahui Maqashid Syari'ah ...)
Maslahat sebagai substansi dari maqashid al-syari'ah dapat dibagi sesuai dengan tinjauannya. Bila dilihat dari aspek pengaruhnya dalam kehidupan manusia, maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkatan:
1. Dharuriyat, yaitu maslahat yang bersifat primer, di mana kehidupan manusia sangat tergantung padanya, baik aspek diniyah (agama) maupun aspek duniawi. Maka ini merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan manusia. Jika itu tidak ada, kehidupan manusia di dunia menjadi hancur dan kehidupan akhirat menjadi rusak (mendapat siksa). Ini merupakan tingkatan maslahat yang paling tinggi. Di dalam Islam, maslahat dharuriyat ini dijaga dari dua sisi: pertama, realisasi dan perwujudannya, dan kedua, memelihara kelestariannya. Contohnya, yang pertama menjaga agama dengan merealisasikan dan melaksanakan segala kewajiban agama, serta yang kedua menjaga kelestarian agama dengan berjuang dan berjihad terhadap musuh-musuh Islam.
2. Hajiyat, yaitu maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan oleh manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan maupun kesempitan. Jika ia tidak ada, akan terjadi kesulitan dan kesempitan yang implikasinya tidak sampai merusak kehidupan.
3. Tahsiniyat, yaitu maslahat yang merupakan tuntutan muru'ah (moral), dan itu dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika ia tidak ada, maka tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia. Maslahat tahsiniyat ini diperlukan sebagai kebutuhan tersier untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia (Al-Zuhaili, 1986:1020-1023).
Jenis kedua adalah maslahat yang dilihat dari aspek cakupannya yang dikaitkan dengan komunitas (jama'ah) atau individu (perorangan). Hal ini dibagi dalam dua kategori, yaitu :
1. Maslahat kulliyat, yaitu maslahat yang bersifat universal yang kebaikan dan manfaatnya kembali kepada orang banyak. Contohnya membela negara dari serangan musuh, dan menjaga hadits dari usaha pemalsuan.
2. Maslahat juz'iyat, yaitu maslahat yang bersifat parsial atau individual, seperti pensyari'atan berbagai bentuk mu'amalah.
Jenis ketiga adalah maslahat yang dipandang dari tingkat kekuatan dalil yang mendukungnya. Maslahat dalam hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Maslahat yang bersifat qath'i yaitu sesuatu yang diyakini membawa kemaslahatan karena didukung oleh dalil-dalil yang tidak mungkin lagi ditakwili, atau yang ditunjuki oleh dalil-dalil yang cukup banyak yang dilakukan lewat penelitian induktif, atau akal secara mudah dapat memahami adanya maslahat itu.
2. Maslahat yang bersifat zhanni, yaitu maslahat yang diputuskan oleh akal, atau maslahat yang ditunjuki oleh dalil zhanni dari syara'.
3. Maslahat yang bersifat wahmiyah, yaitu maslahat atau kebaikan yang dikhayalkan akan bisa dicapai, padahal kalau direnungkan lebih dalam justru yang akan muncul adalah madharat dan mafsadat (Al-Zuhaili, 1986:1023-1029).
Pembagian maslahat seperti yang dikemukakan oleh Wahbah alZuhaili di atas, agaknya dimaksudkan dalam rangka mempertegas maslahat mana yang boleh diambil dan maslahat mana yang harus diprioritaskan di antara sekian banyak maslahat yang ada. Maslahat dharuriyat harus didahulukan dari maslahat hajiyat, dan maslahat hajiyat harus didahulukan dari maslahat tahsiniyat. Demikian pula maslahat yang bersifat kulliyat harus diprioritaskan dari maslahat yang bersifat juz'iyat. Akhirnya, maslahat qath'iyah harus diutamakan dari maslahat zhanniyah dan wahmiyah.
Memperhatikan kandungan dan pembagian maqashid al-syari'ah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa maslahat yang merupakan tujuan Tuhan dalam tasyri'-Nya itu mutlak harus diwujudkan karena keselamatan dan kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa realisasi maslahat itu, terutama maslahat yang bersifat dharuriyat.
Post a Comment for "PENGGALIAN HUKUM MELALUI MAQASHID AL-SYARI'AH"