Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CARA MENGETAHUI MAQASHID AL-SYARI'AH


Dalam kaitannya dengan cara untuk mengetahui hikmah dan tujuan penetapan hukum, setidaknya ada tiga cara yang telah ditempuh oleh ulama sebelum al-Syathibi, yaitu : 

1. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-syari'ah adalah sesuatu yang abstrak, sehingga tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian mendalam yang justru memungkinkan akan menyebabkan pertentangan dengan kehendak bahasa. Cara ini ditempuh oleh ulama Zahiriyah. 

2. Ulama yang tidak mementingkan pendekatan zahir lafal untuk mengetahui maqashid al-syari'ah. Mereka terbagi dalam dua kelompok : 

a. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid alsyari'ah ditemukan bukan dalam bentuk zahir lafal dan bukan pula dari apa yang dipahami dari tunjukan zahir lafal itu. Akan tetapi maqashid al-syari'ah merupakan hal lain yang ada di balik tunjukan zahir lafal yang terdapat dalam semua aspek syari'ah sehingga tidak seorang pun dapat berpegang dengan zahir lafal yang memungkinkannya memperoleh maqashid al-syari'ah. Kelompok ini disebut kelompok Bathiniyah. 

b. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid alsyari'ah harus dikaitkan dengan pengertian-pengertian lafal. Artinya zahir lafal tidak harus mengandung tunjukan yang bersifat mutlak. Apabila terjadi pertentangan antara zahir lafal dengan penalaran akal, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah penalaran akal, baik itu atas dasar keharusan menjaga maslahat atau tidak. Kelompok ini disebut kelompok Muta'ammiqin fi al-Qiyas. 

3. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir lafal dan pertimbangan makna/illat) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian zahir lafal dan tidak pula merusak kandungan makna/illat, agar syari'ah tetap berjalan secara harmonis tanpa kontradiksi. Kelompok ini disebut kelompok Rasikhin (Asafri Jaya, 1996:89-91).

Dalam pandangan Asafri, dalam rangka memahami maqashid alsyari'ah ini, al-Syathibi tampaknya termasuk dalam kelompok ketiga (rasikhin) yang memadukan dua pendekatan, yakni zahir lafal dan pertimbangan makna atau illat. Hal ini dapat dilihat dari tiga cara yang dikemukakan oleh al-Syathibi (tanpa tahun:104) dalam upaya memahami maqashid al-syari'ah, yaitu : 

1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan. 
2. Melakukan penelaahan illat perintah dan larangan.  
3. Analisis terhadap sikap diamnya syari' dalam pensyari'atan suatu hukum.

Cara pertama dilakukan dalam upaya telaah terhadap lafal perintah dan larangan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits secara jelas sebelum dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya kembali kepada makna perintah dan larangan secara hakiki. Perintah harus dipahami menghendaki suatu yang diperintahkan itu agar diwujudkan dan larangan menghendaki agar sesuatu yang dilarang itu dihindari dan dijauhi. 

Cara pertama ini diarahkan untuk memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah. Cara kedua dengan melakukan analisis terhadap illat hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an atau hadits. Seperti diketahui bahwa illat itu ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Jika illatnya tertulis, maka harus mengikuti kepada apa yang tertulis itu, dan jika illatnya tidak tertulis, maka harus dilakukan tawaquf (tidak membuat suatu putusan). 

Keharusan tawaquf ini didasari dua pertimbangan. Pertama, tidak boleh melakukan perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash. Perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash tanpa mengetahui illat hukum sama halnya dengan menetapkan hukum tanpa dalil. Kedua, pada dasarnya tidak diperkenankan melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash, namun hal ini dimungkinkan apabila tujuan hukum dapat diketahui. Sesungguhnya inti dari dua pertimbangann ini adalah bahwa dalam masalah muamalah dibolehkan melakukan perluasan jika tujuan hukum mungkin diketahui dengan perluasan tersebut.  

Cara yang ketiga dengan melihat sikap diamnya syari' (pembuat syari'at) dalam pensyari'atan suatu hukum. Diamnya syari' itu dapat mengandung dua kemungkinan yaitu kebolehan dan larangan. Dalam halhal yang berkaitan dengan muamalah, sikap diamnya syari' mengandung kebolehan dan dalam hal-hal yang bersifat ibadah sikap diamnya syari' mengandung larangan. Dari sikap diamnya syari' ini akan diketahui tujuan hukum.  

Pengumpulan Al-Qur'an yang terjadi setelah Nabi SAW wafat merupakan contoh sikap diamnya syari'. Pada masa Nabi SAW belum dijumpai faktor yang mendesak untuk membukukan Al-Qur'an tersebut. Namun selang beberapa waktu kemudian terdapat faktor yang mendesak untuk membukukan Al-Qur'an. Sikap diamnya Nabi SAW dalam hal ini dapat dipahami bahwa pembukuan itu dibolehkan atau dibenarkan.  

Apabila dilihat cara mengetahui maqashid al-syari'ah seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara pertama lebih diarahkan pada aspek ibadah, cara yang kedua pada aspek muamalah, dan cara ketiga pada keduanya. Cara-cara tersebut merupakan kombinasi cara mengetahui maqashid al-syari'ah melalui pendekatan lafal dan pendekatan makna. Kombinasi ini dirasa sangat penting dalam rangka mempertahankan identitas agama sekaligus mampu menjawab perkembangan hukum yang muncul akibat perubahan-perubahan sosial. 

Post a Comment for "CARA MENGETAHUI MAQASHID AL-SYARI'AH "