Manajemen SDM
A. Etika Sebagai Nilai dan Norma yang Digunakan
Oleh Seseorang atau Kelompok Sebagai Pegangan Bagi Tingkah Lakunya.
1.
Etika
Sunda
Di lingkungan budaya
Sunda ada ungkapan ciri sabumi cara sadésa. Secara harfiah, ungkapan
tersebut menekankan bahwa di setiap lingkungan ada ciri dan cara tersendiri
yang mempengaruhi tindak tanduk para penghuninya. Jika ungkapan ini dikaitkan
dengan bidang etika, dapat dikatakan bahwa pada orang Sunda pun ada kesadaran
bahwa di setiap lingkungan budaya, tak terkecuali lingkungan budaya Sunda,
tentu ada prinsip-prinsip etis tersendiri yang diterima oleh para penghuni
lingkungan tersebut.
Dalam
kaitan dengan hal itu, orang dapat memakai istilah etika Sunda, yang
mengacu pada prinsip-prinsip umum di bidang etika yang tumbuh dan berkembang di
lingkungan budaya Sunda. Prinsip-prinsip tersebut merupakan hasil kreativitas
orang Sunda dalam adaptasinya terhadap keadaan lingkungannya dan keadaan
zamannya. Tentu, etika Sunda tidak dapat dilepaskan dari pandangan dunia dan
pandangan hidup orang Sunda. Misalnya, dalam hal pandangan dunia, secara
tradisional orang Sunda melihat adanya tiga lapis jagat, yakni buana luhur (jagat
atas), buana panca tengah (jagat tengah) dan buana larang (jagat
bawah). Umat manusia dilihat sebagai penghuni buana panca tengah. Sementara
dalam hal pandangan hidupnya, orang Sunda berpendirian sineger tengah sebagaimana
yang akan dipaparkan nanti.
2. Pentingnya Mempelajari Etika Sunda
Lahir
dan besar di Tatar Sunda adalah suatu nasib, tetapi hidup dan berperilaku
sebagai orang Sunda adalah suatu kehendak atau suatu pilihan. Mempelajari etika
Sunda merupakan salah satu konsekuensi logis dari kehendak atau pilihan
tersebut.
3.
Sumber
Pengetahuan Mengenai Etika Sunda
Terdapat
sejumlah sumber pengetahuan yang dapat digali untuk memahami etika dan
adat-istiadat Sunda. Secara umum, sumber-sumber pengetahuan itu dapat dibagi
dua. Pertama, sumber-sumber yang termasuk ke dalam warisan tradisi lisan (oral
tradition) seperti folklore, carita pantun, wawacan dsb. Kedua,
sumber-sumber yang termasuk ke dalam tradisi tertulis (written tradition)
baik yang sudah klasik seperti yang berupa naskah atau manuskrip Sunda Kuna
maupun yang disebut modern seperti karya sastra atau tulisan lain hasil
kreativitas penulis Sunda kontemporer.
Tradisi
lisan (oral tradition):
1. Carita
Pantun (Lutung Kasarung, dsb.)
2. Wawacan
(Sajarah Ambia, dsb.)
3. Folklore
4. dll.
Tradisi
tertulis (written tradition):
Karya
klasik (naskah Sunda kuna)
1. Sanghyang
Siksa kandang Karesian (1518 M)
2. Sewaka
Darma
3. Amanat
Galunggung
4. Bujangga
Manik
5. Sri
Ajnyana
6. dll.
B. Etika Sebagai Kumpulan Prinsip Dan Nilaimoral
Yang Mengatur Prilaku Sebuah Kelompok Khususnya Suatu Profesi, Dalam Hal Ini
Etika Disebut Kode Etik Atau Etika Profesi
Contoh etika dalam kode etik, yaitu pada
kode etik bidan indonesia
Kode etik merupakan suatu ciri profesi
yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin
ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan
tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.
Kode Etik Bidan Indonesia
1.
Kewajiban
bidan terhadap klien dan masyarakat
a.
Setiap
bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
b.
Setiap
bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
c.
Setiap
bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
d.
Setiap
bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati
hak klien dan nilai-nilai yang dianut oleh klien.
e.
Setiap
bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien,
keluaraga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
f.
Setiap
bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan
tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajart
kesehatannya secara optimal.
2.
Kewajiban
bidan terhadap tugasnya
a.
Setiap
bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan
masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan
kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
b.
Setiap
bidan berkewajiaban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam
mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/atau rujukan.
c.
Setiap
bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan/atau dipercayakan
kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan
dengan kepentingan klien.
3.
Kewajiban
bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
a.
Setiap
bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana
kerja yang serasi.
b.
Setiap
bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap
sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
4.
Kewajiban
bidan terhadap profesinya
a.
Setiap
bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan
menampilkan kepribadian yang bermartabat dan memberikan pelayanan yang bermutu
kepada masyarakat.
b.
Setiap
bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan profesinya
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c.
Setiap
bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan
sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
5.
Kewajiban
bidan terhadap diri sendiri
a.
Setiap
bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya
dengan baik.
b.
Setiap
bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c.
Setiap
bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
6.
Kewajiban
bidan terhadap pemerintah, nusa, bangsa dan tanah air
a.
Setiap
bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan
pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayananan Kesehatan
Reproduksi, Keluarga Berencana dan Kesehatan Keluarga.
b.
Setiap
bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran kepada
pemerintah untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan terutama
pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
C. Etika
Sebagai Ilmu yaitu Tentang yang Baik dan Buruk dan Tentang Apa yang Harus Dilakukan
Manusia dan Apa yang Tidak Boleh. Dalam Hal Ini Etika Sebagai Filsafat Moral
Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan
sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Berbagai
sikap manusia tertera dalam nilai-nilai etika, baik yang berasal dari nilai
religius ataupun nilai yang bersifat antropopisme( non religius). Manusia dalam
bertindak juga memerlukan berbagai konsep-konsep yang menurut kita dan
masyarakat diterima sebagai nilai yang baik. Nilai-nilai ini dapat juga
bersumber dari aplikasi filsafat pada masa dahulu( filsafat kuno). Dalam
filsafat modern nilai ini terbagi dalam divisi-divisi yang bersumber dari dua
hal di atas- yang dianggap baik tersebut-yang kita dapat menerimanya sebagai
suatu yang logis dan dapat dikritisi sebagai sebuah modal awal sebuah nilai
dalam menetukan apakah nilai itu bermanfaat atau tidaknya terhadap subjeknya
yaitu manusia. Alam turut menyumbangkan peranan penting bagi manusia dalam
memperoleh nilai yang ada di bumi ini. Bermula dari alam manusia belajar untuk
menentukan what,
how, why, where, and who yang ingin diungkap. Ketidaktahuan pada awalnya menurut filsafat
kuno diakomodir dengan memperhatikan dan mempelajari alam secara arif dan
bijaksana. Dalam esai ini akan dibahas berbagai teori filsafat moral yang
membahas bebrapa pemikiran tentang moral dan contoh aplikasi yang ada di
masyarakat pada saat ini( prospektif) dan yang ada pada masa sebelum masa
sekarang (retrospektif).
1.
HEDONISME
Pertama, hedonism. Hedone dalam bahasa Yunani yang berarti kesenangan, mempunyai
makna secara etimologi bahwa manusia dalam kehidupannya mempunyai tujuan akhir
yaitu kesenangan dan menghindari kesedihan, kesakitan, dan hal yang membuatnya
menjadi tidak bahagia. Istilah dan teori tentng hedonism dikemukakan oleh
Aristippos dari Kyrene ( sekitar 433-355 SM). Namun, kesenangan ini menurut
Aritppos sendiri hanya terbatas pada keadaan dan kebutuhan ragawi saja. Tidak
merepresentasikan keadaan psikologis sesungguhnya.
Pengaplikasiaannya
sangat banyak pada masa saat ini. Baik itu yang bersifat frontal ataupun makna
yang baik dalam kehidupan manusia. Contoh kasus pertama yang mau penulis angkat
adalah mengenai hedonism yang bersifat frontal yaitu salah satunya tentang
“anggota DPR oh anggota DPR uenaknya hidup kalian.” Masalah pencarian
kesenangan sendiri memang sudah ada sejak manusia pada masa kecil. Ketika
seorang manusia telah mendapatkan sesuatu yang menurut ia menyenangkan dan hal
yang tidak menyenangkan akan ia tinggalkan. Dalam kasus ini, mengapa penulis
ingin mengangkat the way of life dari para anggota DPR yang cukup universal dan
familiar bagi masyarakat Indonesia dengan segala luxury-baca sebagai
tersier-red. Kehidupan yang diwarnai dengan berbagai fasilitas yang sangat
mewah-bandingkan dengan angka pendapatan rata-rata rakyat Indonesia-tidak
sebanding dengan kinerja yang mempunyai skor yang mengecewakan dan tingkat
penilaian kekecawaan dari masyarakat. Hasil ini menunjukkan bahwa kesenangan yang
bersifat ragawi itu dapat berdampak terhadap kesenangan orang lain. Tingkat
kesenangan yang diperoleh para anggota DPR menganggu kesenangan rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Mengapa penulis bisa berpendapat seperti ini dan
men-jugdg¬e¬ mereka? Anggota DPR dalam hal ini merupakan representasi dari
suara rakyat, digaji, dibiayai oleh rakyat, cuma mementingkan keegoisan mereka
sendiri tanpa melihat sisi bawah dari masyarakat. Sebagai tambahan, menurut
survei yang diliris oleh Indonesian Corruption Watch, lembaga DPR termasuk
dalam lembaga yang berkinerja buruk dan termasuk dalam lembaga yang banyak
menyelewengkan uang rakyat- bahwa para anggota DPR memegang posisi yang sangat
vital sebagai lembaga yang di dalamnya masuk sebagai posisi teratas dalam hal korupsi.
Menurut Aristippos, kesenangan itu sendiri memang harus ada sebuah pembatas dan
nilai-nilai etika yang dimasukkan ke dalamnya agar tidak terjadi hal seperti
pemaparan penulis di atas. Dalam hal ini perlu ditekankan secara radikal dan
progresif terhadap pencapaian kesenangan yang lebih bermoral- baca lebih tidak
menyakiti kesenangan orang lain( rakyat)- dan lebih bermartabat. Ini termasuk
kesenangan yang sia-sia karena hanya mementingkan pencapaian kesenangan atas
kekayaan yang diperoleh atas dasar melanggar hak-hak orang lain-rakyat- secara
tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini ataraxia biasanya tidak terjadi.
Ataraxia adalah sebuah bentuk respon tubuh ditinjau dari sisi psikologis
sebagai sesuatu yang menenangkan jiwa-dalam artian yang bijaksana, baik, dan
bermartabat- dan mendapatkan sebuah perasaan yang sangat bahagia dalam
kehidupan tanpa merugikan kepentingan orang lain.
Kedua,
eudonism, yaitu sesuatu hal yang ingin dicapai di dunia ini adalah
kebahagian-bukan kesenangan- yang menjadi tujuan akhir dari kehidupannya.
Kebahagiaan dalam artian yang partikular bukan berarti hal yang membahagiakan
dalam bentuk materi-kekayaan- semata, namun harus disertai dengan penyertaan
akal dan rasio sebagai bentuk rasionalitas dalam mencapai tujuan akhir yaitu kebahagiaan
tadi. Aristoteles menganggap apabila seorang individu ingin mencapai
kebahagiaan yang hakiki tersebut mempunyai banyak aspek pertimbangan dalam
pencapaiaan. Dalam hal ini ditekankan bagaimana bahagia sebagai manusia yang
dapat menjalankan perannya sesuai dengan funsi dirinya baik secara harfiah atau
biologis maupun secara sosiologis. Sosiologis di sini adalah bagaimana ia
berperan serta aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan berinteraksi dengan
wajar dan diterima di masyarakat sebagai seorang individu yang bermartabat.
Kekayaan juga dapat memberikan suatu prestise tertentu dalam hal mendapatkan
prestise tertentu dalam masyarakat. Terkadang ada individu yang ingin
mendapatkan kekayaan agar ia diterima sebagai suatu yang fungsional dalam
tatanan masyarakat. Contoh kasus eudonism, salah satunya adalah seorang guru
yang mengabdi bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Bagi dia anak-anak
tersebut walaupun mereka dalam keadaan berketerbatasan merka tetap membutuhkan
sokongan bantuan dan pendidikan. Di sini guru ini tergerak hatinya untuk
mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk mengajar anak-anak tersebut. Bukan
materi yang ingin ia dapatkan namun ia lebih mengutamakan bagaimana ia bisa
berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini mengacu terhadap teori
eudonism di atas. Keteguhan diri sang guru tersebut mampu meruntuhkan keinginan
mencapai kekayaan yang bersifat materi, ia sadar ada kebahagiaan yang lebih
hakiki dibanding “kesenangan” bermateri kekayaan yaitu kebahagiaan dapat
menjadi seorang yang esensial di antara anak-anak yang berkebutuhan khusus
dalam memberikan pendidikan yang setara dengan anak- anak biasa.
3.
DEONTOLOGI
Ketiga, deontology, yaitu keadaan di mana seorang individu bertindak berdasarkan
maksud di pelaku dalam melakukan hal tersebut(tindakan). Deontologi menurut
Immanuel Kant-penemu teori ini- yaitu, sesuatu perbuatan akan bermakna baik
jika dilandasai dengan kehendak yang baik. Dalam teorinya ini, ia menuliskan
bahwa yang kehendak baik dimaknai apabila seorang individu akan melaksanakan
sebuah kewajiban. Kehendak yang baik atas kewajiban inilah yang dipandang
sebagai sesuatu hal yang baik. Sebagaimana kasus pejabat DPR yang melakukan
banyak penyelewengan dana negara-yang sudah kita ketahui bersama dan menjadi
rahasia umum- melakukan perbuatan tersebut hanya didasarkan pandangan
subyektifnya. Makna subyektif tersebut, “mereka” melakukanhal tersebut karena
menurut mereka wataknya memang seperti itu atau bawaan dari “sana”(lahir).
Ditinjau dari segi deontologi, mereka tidak melakukan sesuatu yang menjadi
kewajibannya, malah melakukan di luar haknya sebagai anggota DPR. Contoh
konkret yang lebih jelas, salah satunya yaitu, ketika seorang warga negara
harus membayar pajak yang menjadi kewajiban tiap warga negara seperti yang
tercantum dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan konsep deontologi bahwa warga
negara membayar sejumlah uang negara-pajak- karena memang sudah menjadi sebuah
kewajiban. Mereka melakukan pembayaran tersebut disertai dengan kehendak yang
baik-sesuai dengan kewajiban- tersebut. Apabila seorang warga negara tidak
membayar pajak maka ia akan mendapatkan sanksi dari negara. Kant menyebutnya
sebagai legalitas karena ada norma huku yang berperan di sini.
Contoh
kasus lainnya yaitu seorang anak harus menjalankan posisi sebagai seorang anak
yang harus patuh terhadap kedua orang tuanya. Patuh dengan cara melaksanakan
semua arahan dan nasehat yang diberi oleh orang tuanya. Ia di sini telah
melakukan kewajiban yang memang menjadi hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi
sebagai seorang anak kepada oran tuanya. Ia berkehendak secara implisit dalam
perbuatannya tersimpan nasehat serta arahan tersebut. Denga kata lain, ia
melakukan kehendak sesuai kewajibannya yang menurut Kant sesuai dengan konsep
deontologinya.
Post a Comment for "Manajemen SDM"