Redefinisi Keilmuan Ekonomi Islam Indonesia
Redefinisi Keilmuan Ekonomi Islam Indonesia (Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim)
A.
Pendahuluan
Sebagai
sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam suatu proses
pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam
rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji ulang sejarah
perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran para tokoh
(ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi kritis
terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.
Proses
interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia mengalami
pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap
terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun
perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan
berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat
liberal hingga radikal.
Tulisan
singkat ini akan memaparkan secara singkat salah satu model pemikiran ekonomi
Islam
Indonesia
yang ditawarkan oleh seorang pioneer di bidang tersebut, Adiwarman Azwar
Karim.
B.
Sketsa Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam di Indonesia
Studi
tentang ekonomi Islam selama ini meniscayakan konteks histories, dimana menjadi
kebiasaan di kalangan pemikir ekonomi Islam untuk mengidealisasikan masa-masa
awal Islam sebagai rujukan terbaik bagi terlaksananya hukum Islam secara kaffah,
termasuk di dalamnya transaksi-transaksi syari’ah.
Dalam
konteks sejarah modern, gerakan ekonomi Islam mulai dirintis sejak awal tahun
60-an, ketika di Mesir dibentuk sebuah lembaga keuangan pedesaan yang bernama Mit
Ghamr Bank. Lembaga ini lahir atas prakarsa seorang tokoh intelektual
lokal, Dr. Ahmad Najjar.
Ada
dua alasan Mengapa Ahmad Najjar mendirikan lembaga tersebut, pertama, mencari
alternative bagi perbankan konvensional yang mengusung ideologi bunga; kedua,
memberdayakan potensi ekonomi masyarakat Mesir yang mayoritas muslim,
terutama zakat, infaq dan shadaqah; ketiga, sebagai bagian dari aksi
penegakan syari’at Islam.
Momen
paling menentukan bagi perkembangan ekonomi Islam adalah didirikannya Islamic
Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang berpusat di Jeddah yang
dirancang untuk "menyaingi" Bank Dunia (The World Bank), serta
Asian Development Bank (ADB) yang dibentuk oleh negara-negara yang
tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), salah satunya Indonesia
sebagai pemegang saham dan Menteri Keuangan Indonesia ketika itu menjabat Dewan
Gubernur. Berdirinya IDB memicu berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia,
bahkan di kawasan Eropa. Di Timur Tengah, perbankan Islam bermunculan pada
paruh kedua tahun 70-an, misalnya Dubai Islamic Bank (1975), Kuwait
Finance House (1977), dan di Iran yang melakukan islamisasi perbankan
secara nasional. Sementara negara-negara Islam Asia Tenggara, perkembangan
perbankan syari’ah lebih baru dimulai era 80-an, ditandai dengan beroperasinya Bank
Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983 dan Bank Mu’amalat
Indonesia (BMI) pada tahun 1991.
Jika
perkembangan perbankan Islam di Indonesia baru dimulai tahun 1991, tidak
demikian halnya dengan pemikiran di bidang ekonomi Islam. Wacana ekonomi Islam
di Indonesia telah mencuat sejak tahun 70-an, bersamaan dengan bermunculannya
perbankan Islam di Timur Tengah. Perkembangan pemikiran ekonomi Islam di
Indonesia berdasarkan coraknya dapat dibedakan menjadi tiga generasi, yaitu
generasi awal (era 70-an), generasi kedua (era 80-an) dan generasi kontemporer
(pasca 2000).
Wacana
yang berkembang di kalangan generasi pertama diwarnai perdebatan tentang
permasalah yang paling krusial, riba. Perdebatan terutama berkisar pada
masalah apakah bunga bank termasuk ke dalam kategori riba ataukah tidak. dalam
menyikapi persoalan tersebut, pendangan umat Islam berbelah menjadi dua, antara
yang membedakan bunga bank dengan riba dan yang menyamakan keduanya. Muara dari
perdebatan ini, terutama bagi yang menganggap sama antara bunga bank dengan
riba, pada akhirnya memunculkan gagasan berdirinya bank Islam. Kedua aliran
tersebut, dengan beragam variannya, baik di Indonesia maupun di dunia Islam
pada umumnya selalu tetap hidup bersama dan mempertahankan prinsip
masing-masing. Dan sebagai jalan tengah dari perbedaan prinsip kedua kelompok
ini, di Indonesia pada mulanya diterapkan dual system bank.
Memasuki
era 80-an, perkembangan ekonomi Islam di Indonesia memasuki babak baru, yaitu
munculnya pemikiran-pemikiran teoritis yang berusaha membangun konstruksi
keilmuan ekonomi Islam. Awalnya pemikiran ini dipengaruhi oleh masuknya
buku-buku impor tentang ekonomi Islam, khususnya yang diterbitkan oleh Islamic
Foundation dan The International Institute of Islamic Thoght (IIIT).
Dari literature-literatur tersebut selanjutnya diikuti oleh pemikir-pemikir
ekonomi Islam di Indonesia untuk melakukan upaya serupa. Di antara sejumlah
nama yang mempelopori pemikiran ini yang antara lain, T.M. Hasbi As-Siddiqi, A.
Azhar Basyir, dan H. Zainal Abidin Ahmad. Corak pemikiran "generasi
pertama" ini masih diwarnai oleh paradigma fikih dan idealisasi sejarah
Islam klasik. Hasbi As-Siddiqi menulis Fiqh Mu’amalah yang dimaksudkan
untuk merekonstruksi fiqh mu’amalah dalam bingkai "hukum dagang dan
perikatan islam, sementara A. Azhar Basyir menghasilkan karya serupa yang
diberi judul Asas-asas Mu’amalah. Meskipun ada upaya
"memodernisasi" fiqh, tetapi keduanya masih belum beranjak dari
paradigma fiqh itu sendiri. Agak berbeda dengan kedua koleganya, H. Zainal
Abidin Ahmad memilih untuk mereaktualisasi sejarah klasik ekonomi Islam melalui
karyanya, Dasar-dasar Ekonomi Islam. Dalam buku tersebut, pemikiran
sejumlah pemikir Islam klasik dielaborasi secara singkat, antara Ibn Khaldun,
Ibn Taimiyah, Ibn Rushd dan al-Ghazali.
Rintisan
pemikiran yang dilakukan oleh generasi awal ini seolah tidak mendapat sambutan
dari generasi sesudahnya. Bahkan, sebagaimana disebutkan di atas, khazanah
pemikiran ekonomi Islam di Indonesia dipenuhi oleh literatur-literatur asing
yang masuk melalui jalur kampus. Pada masa ini tulisan-tulisan Aktifitas
penerjemahan menjadi satu-satunya tanda-tanda "kehidupan" pemikiran
ekonomi Islam ketika itu. Meskipun demikian, terdapat sisi positif yang dapat
diambil di balik kejumudan intelektual tersebut. Pemikiran-pemikiran
para pakar ekonomi Islam kontemporer yang mulai menggunakan instrumen ilmu
ekonomi konvensional mulai diperkenalkan kepada pemikir ekonomi Islam di
Indonesia, dan itu telah merubah pola berfikir mereka. Tokoh yang paling
mempengaruhi corak pemikiran ekonomi Islam di Indonesia adalah M.A. Mannan,
Nejatullah Siddiqi, Afzalurrahman, Umar Chapra, F.R. Faridi, dan sebagainya.
Perkenalan
dengan literature-literatur asing tentang ekonomi Islam telah mendorong para
pakar ekonomi Islam di Indonesia untuk merubah paradigma berfikir, dari semula
yang bercorak fiqh kepada paradigma ekonomi yang lebih "ilmiah",
matematis dan dapat diterima secara lebih luas, baik oleh kalangan sekular maupun
fundamental yang selama ini berseberangan pendapat dalam hal pemikiran.
Bagi kelompok sekular, hadirnya wajah baru ekonomi Islam yang disertai
penjelasan-penjelasan matematis dan rasional telah membuka kesediaan mereka
untuk menerima ekonomi Islam sebagai ilmu baru yang memang "ilmiah".
Sementara bagi kalangan fundamentalis, semakin mempertebal keyakinan mereka
akan "keunggulan" syari’at Islam dibandingkan ideologi-ideologi yang
lain.
Pergeseran
paradigma pemikiran ekonomi Islam di Indonesia ini mulai nampak pada awal
200-an, atau paling awal sejak akhir decade 90-an. Pada era tersebut muncul
generasi kontemporer pakar ekonomi Islam Indonesia.
Motor
generasi ini adalah mereka yang memiliki basis keilmuan ekonomi konvensional,
tetapi memiliki kepedulian terhadap perkembangan ekonomi Islam. Sebagaimana
tokoh-tokoh yang mempengaruhi mereka, pemikiran generasi ini mengedepankan
logika ekonomi dari pada logika fiqh. Kampus, media massa
dan
penerbitan menjadi jalur penyebaran ide-ide mereka. Dengan mencermati pola
pemikiran yang dikemukkan, Adiwarman layak untuk dimasukkan sebagai salah satu
pemikir ekonomi Islam kontemporer Indonesia.
C.
Pemikiran Adiwarman Azwar Karim Tentang Ekonomi Islam;
1.
Biografi
Nama
lengkap dan gelarnya adalah Ir.H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A.,
M.A.E.P., lahir di Jakarta pada 29 Juni 1963. Adiwarman atau Adi (nama
panggilan) merupakan cerminan sosok pemuda yang mempunyai "hobi"
belajar. Pendidikan tingkat S1 ia tempuh di dua perguruan tinggi yang berbeda,
IPB dan UI. Gelar Insinyur dia peroleh pada tahun 1986 dari Institut Pertanian
Bogor (IPB). Pada tahun tahun 1988 Adiwarman berhasil menyelesaikan studinya di
European University, Belgia dan memperoleh gelar M.B.A. setelah itu ia
menyelesaikan studinya di UI yang sempat terbengkalai dan mendapatkan gelar
Sarjana Ekonomi pada tahun 1989. Tiga tahun berikutnya, 1992, Adiwarman juga
meraih gelar S2-nya yang kedua di Boston University, Amerika Serikat
dengan gelar M.A.E.P. Selain itu ia juga pernah terlibat sebagai Visiting
Research Associate pada Oxford Centre for Islamic Studies.
Modal
akademis dan konsistensinya pada bidang ekonomi menghantarkannya untuk meniti
berbagai karir prestisius. Pada tahun 1992 Adiwarman masuk menjadi salah satu
pegawai di Bank Mu’amalat Indonesia, setelah sebelumnya sempat bekerja di
Bappenas. Karir Adi di BMI terbilang cemerlang, karir awalnya sebagai staf
Litbang. Enam tahun kemudian ia dipercaya untuk memimpin BMI cabang Jawa Barat.
Jabatan terakhirnya di pionir bank syariah tersebut adalah Wakil Presiden
Direktur. Jabatan tersebut dipegang sampai dengan tahun 2000, ketika ia
memutuskan untuk keluar dari BMI. Menurutnya, memutuskan keluar dari BMI bukan
perkara gampang. Sebab, bekerja di bank syari’ah sudah menjadi keinginannya
sejak masih menjadi mahasiswa. Karena itu ia baru berani memutuskan untuk
keluar dari BMI setelah melakukan shalat istikharah selama 6 bulan.
Keluarnya Adiwarman dari BMI disebabkan ia memiliki agenda yang lebih besar
yang ingin dicapai, yaitu memperjuangkan dibukanya divisi syari’ah di bank-bank
konvensional. Hasil dari upaya Adiwarman tersebut dapat dilihat sekarang ini,
dengan dibukanya divisi-divisi, unit dan gerai syari’ah di beberapa bank
konvensional, meskipun itu bukan satu-satunya faktor penyebabnya.
Setelah
melepas jabatannya di BMI, pada tahun 2001 dengan modal Rp. 40 juta Adiwarman
kemudian mendirikan perusahaan konsultan yang diberi nama Karim Business
Consulting. Semula, banyak pihak termasuk yang bergabung di perusahaannya
awalnya memandang pesimis prospek perusahaan yang dipimpinnya. Hal ini bisa
dimaklumi, sebab ketika itu bank syari’ah di Indonesia hanyalah BMI. Tetapi,
seiring perkembangan ekonomi Islam dan perbankan syari’ah di Indonesia, saat
ini perusahaan yang dipimpinnya telah menjadi rujukan dari berbagai pertama
dalam masalah ekonomi da perbankan islam atau syari’ah.
Kontribusi
Adiwarman dalam pengembangan perbankan dan ekonomi syari’ah di Indonesia
bukan
saja sebagai praktisi, tetapi juga sebagai intelektual dan akademisi. Ia
menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi ternama seperti UI, IPB, Unair,
IAIN Syarif Hidayatullah dan sejumlah perguruan tinggi swasta untuk mengajar
perbankan dan ekonomi syariah. Di beberapa perguruan tinggi tersebut ia juga
mendirikan Shari’ah Economics Forum (SEF), suatu model jaringan ekonomi
Islam yang bergerak di bidang keilmuan. Lembaga tersebut menyelenggarakan
pendidikan non kulikuler yang diselenggarakan selama dua semester dan
dipersiapkan sebagai sarana "islamisasi" ekonomi melalui jalur
kampus. Pada 1999, Adiwarman bersama kurang lebih empat puluh lima tokoh dan
cendikiawan Muslim Indonesia bersepakat mendirikan lembaga IIIT-I (The
International Institute of Islamic Thought-Indonesia). IIIT, sebagai induk
organisasinya yang berkedudukan di Amerika Serikat adalah lembaga kajian
pemikiran Islam yang berupaya mengeksplorasi Islamisasi ilmu pengetahuan
sebagai respon Islam atas perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Upaya itu semula
digagas oleh beberapa cendikiawan Muslim di Amerika Serikat pada tahun 1981. Di
Indonesia, upaya serupa telah dilakukan lewat pengembangan dan eksplorasi ilmu
ekonomi Islam. Meruahnya respon atas upaya ini terbukti salah satunya dengan
semakin banyaknya institusi-institusi perbankan yang mengadopsi sistem
syari’ah.
Sama
seperti induk organisasinya, IIIT-Indonesia berkembang sebagai sebuah organisasi
nirlaba yang bergerak di wilayah pemikiran dan kebudayaan. IIIT-Indonesia dan
bersfat independen, tidak berafiliasi dengan gerakan lokal mana pun. Misi yang
diembannya adalah mengembangkan pemikiran Islam berikut metodologinya dalam
kerangka meningkatkan kontribusi umat Islam dalam membangun peradaban bersama
yang lebih baik. Bersama dengan IIIT-I inilah Adiwarman menebarkan gagasanya
tentang ekonomi Islam.
Kepakaran
Adiwarman di bidang ekonomi Islam semakin diakui dengan ditunjuknya ia sebagai
anggota Dewan Syari’ah Nasional dan terlibat dalam mempersiapkan lahirnya
Undang-Undang Perbankan Syari’ah.
Beberapa
tulisan Adiwarman yang telah diterbitkan antara lain; Ekonomi Islam, Suatu
Kajian Kontemporer yang merupakan kumpulan artikelnya di Majalah Panji
Masyarakat, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, sebuah kumpulan
tulisan pakar ekonomi yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Ekonomi
Mikro Islami dan Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro. Ketiga
tulisan yang disebut terakhir merupakan bahan kuliah wajib di berbagai
perguruan tinggi tempatnya mengajar. Terakhir ia menulis satu buku yang
berusaha memberikan pandangan secara komprehensif tentang perbankan Islam
dengan memberikan analisis dari perspektif fikih dan ekonomi (keuangan). Buku
tersebut diberi title Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan.
Saat
ini Adiwarman sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Abdul Barri
Karim (12 tahun), Azizah Mutia Karim (11 tahun), dan Abdul Hafidz Karim (6
tahun) dari pernikahannya dengan Rustika Thamrin (35 tahun), seorang Sarjana
Psikologi UI.
2.
Fundamentalis-Intelektual-Profesional
Bersama
beberapa tokoh ekonomi Islam Indonesia lainnya, seperti A.M. Saefudin, Karnaen
Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Zainal Arifin, Mulya
Siregar, Riawan Amin dan sebagainya, oleh Dawam Rahadjo, Adiwarman dimasukkan
dalam kelompok pemikir fundamentalis dalam bidang ekonomi Islam.
Istilah
fundamentalis di sini didefinisikan dalam konteks pola-pola pemikiran, ide dan
gagasan dalam memperjuangkan syari’at Islam. Dalam hal ini fundamentalisme
berkembang dalam wajahnya yang tidak monolit atau menunjukkan gejala
tunggal. Sebaliknya, fundamentalisme menampakkan ciri majemuk atau plural;
seperti islam radikal, paham salafiyah, gerakan revivalis, Islam ekstrim, islam
politik atau islamis yang walaupun tidak identik sepenuhnya, namun punya
pengertian yang tumpah tindih.
Kelompok
Islam fundamentalisme, dengan beragam sebutan yang disandangnya, memiliki
kesamaan ciri khas, yaitu cita-cita tegakkanya syari’at Islam. Meskipun
demikian, dalam hal metode atau cara perjuangannya, mereka tidak satu kata dan
terbelah menjadi dua aliran besar. Sebagian memilih menempuh cara-cara
revolusioner (karenanya mereka disebut kelompok fundamental radikal), sebagian
yang lain mencoba berkompromi dengan penguasa dan mengedepankan jalur
demokrasi-parlementer. Ada juga yang membedakan pola gerakan fundamentalisme
Islam menjadi;1) "Islam politik" yang menempuh jalan mencapai
kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan syari’at; dan 2) "Islam
cultural" yang memilih jalur budaya dan kemasyarakatan. Yang pertama
bertujuan menegakkan syari’at Islam sekaligus negara Islam, sementara yang
kedua bertujuan menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam, atau masyarakat
madani.
Misi
penegakkan syari’at yang diusung oleh Islam fundamentalis mendapat reaksi dari
kelompok liberal yang mengkampanyekan sekularisme. Menurut kelompok ini,
gerakan islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam wacana public. Selain
itu, dalam memanggapi persoalan public, pendekatan agama tidak perlu dipakai
dan cukup diganti dengan ilmu pengetahuan. Demikian pula formulasi syari’at
islam menjadi hukumpositif tidak diperlukan, karena dalam formalisasi itu
negara harus memilih suatu mazhab tertentu yang berarti akan menyingkirkan
mazhab-mazhab yang lain. Karena itulah, pilihan yang tepat adalah mengembalikan
Islam kepada masyarakat untuk menjalankan syari’at mereka secara otonom tanpa
intervensi negara.
Perbedaan pendapat antara kedua kelompok
tersebut juga terjadi dalam menyikapi isu-isu actual seputar ekonomi dan
perbankan syari’h atau Islam di Indonesia. Di bidang ini, kelompok
fundamentalis berusaha memperjuagngkan berlakunya syari’at Islam dalam sistem
ekonomi Islam, khususnya perbankan Islam, sama halnya dengan keinginan
kawan-kawan merekayang memperjuagkan syari’at Islam di bidang politik dan
hukum. Bedanya, jika perjuangan melalui jalur politik dilakukan dengan
cara-cara radikal, sementara perjuangan menegakkan ekonomi Islam cenderung
memilih cara-cara gradual dan demokratis.
Perlu dicatat, bahwa apa yang disebut dengan
"ekonomi syrai’ah" atau "ekonomi Islam" tidak sama persis
dengan pengertian syari’ah dalam definisinya yang baku menurut perspektif hukum
Islam. Syari’ah di sini dimaknai sebagai wahyu Tuhan itu sendiri (al-Qur’an)
dan sunnah Nabi Saw. yang pengertiannya sama dengan thariq, sabil dan manjah,
yaitu suatu jalan atau metode. Syari’ah dalam definisi yang seperti ini
sangat terbuka terhadap interpretasi yang pada gilirannya menghasilkan Ilmu
pengetahuan yang kebenarannya bersifat relative. Di sini syari’ah telah
megalami proses rasionalisasi menurut metode-metode ilmiah. Hasilnya antara
lain apa yang disebut ekonomi Islam atau ekonomi syari’ah tadi.
Di Indonesia, fundamentalis yang memperjuangkan
tegaknya ekonomi Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok lagi, yaitu
kelompok professional dan kelompok intelektual. Kelompok
fundamentalis professional berorientasi pada praktek. Mereka merasa tidak perlu
menunggu perkembangan teori Islam menjadi mapan, serta mencukupkan diri dengan
"piranti" teori yang sudah ada, yaitu fiqh mu’amalah setelah
dikonseptulaisasi. Golongan professional inilah yang berada di balik pendirian
BMI dan bank-bank Islam lainnya.
Berbeda dengan fundamentalis professional,
fundamentalis intelektual justru berorientasi pada teori. Mereka berupaya
menyediakan bangunan teori-teori ekonomi yang kokoh terlebih dahulu sebagai
dasar pijakan bagi terlaksananya ekonomi islam secara baik dan benar serta
dapat diterima secara luas oleh masyarakat (ilmiah). Sekalipun demikian, dalam
upaya membangun teori tersebut kelompok fundamentalis intelektual ini juga
tidak sepaham. Setidaknya dalam memandang ekonomi Islam merke terpisah menjadi
tiga corak (mazhab), yaitu mazhab Baqir as-Sadr, mazhab Mainstream
dan mazhab Alternatif. Mazhab Baqir as-Sadr dipelopori oleh Baqir
as-Sadr dan Ali Syariati. Menurut mazhab ini bahwa dalam mempelajari ilmu
ekonomi harus dilihat dari dua aspek, yaitu aspek philosophy of economics atau
normative economics dan aspek positive economics. Mazhab ini
memandang adanya perbedaan antara ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Akibatnya
adalah keduanya tidak akan bisa bertemu. Istilah ekonomi Islam adalah istilah
yang kurang tepat sebab ada ketidak sesuaian antara definisi ilmu ekonomi
dengan ideologi Islam tersebut. Pandangan demikian didasarkan pada pengertian
dari ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya
masalah kelangkaan sumberdaya ekonomi (scarcity) vis a vis dengan kebutuhan
manusia yang tak terbatas. Hal ini bertentangan dengan al-Quran surah al-Furqan
ayat 2 yang menjamin keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan sumberdaya
yang tersedia. Karena itu mazhab ini mengganti istilah ilmu ekonomi Islam
dengan iqtisad yang mengandung arti selaras, setara dan seimbang (in
between). Kemudian menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang
bersumber dari al-Quran dan Sunnah.
Sedangkan mazhab Mainstream, yang banyak
dipelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Islamic Development Bank (IDB)
antara lain M. Umar Chapra, M.A. Mannan, Nejatullah Siddiqi, Khursid Ahmad,
Monzer Khaf dan sebagainya, mengakui adanya scarcity yang mendasari
terbentuknya ilmu ekonomi. Karena sebagian tokoh mazhab Mainstream ini
adalah alumni dari berbagai perguruan tinggi Amerika dan Eropa, maka mereka
dapat menjelaskan fenomena ekonomi dalam bentuk model-model ekonomi dengan
pendekatan ekonometri. Dengan demikian berbeda dengan mazhab pertama yang
menolak ekonomi konvensional, mazhab ini banyak meminjam teori-teori ekonomi
konvensional.
Sementara itu mazhab Alternatif yang
dimotori oleh Prof. Timur Kura (Ketua pada Jurusan Ekonomi pada University
of Southern California), Prof. Jomo dan Prof. Muhammad Arif, memandang
pemikiran mazhab Baqir Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma
ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional,
tapi banyak kelemahannya, sedangkan mazhab Mainstream merupakan wajah
baru dari pandangan Neo Klasik dengan menghilangkan unsur bunga dan
menambahkan zakat. Selanjutnya mazhab ini menawarkan suatu kontribusi dengan
memberikan analisis kritis tentang ilmu ekonomi bukan hanya pada pandangan
kapitalisme dan sosialisme (yang merupakan representasi wajah ekonomi
konvensional), melainkan juga melakukan kritik terhadap perkembangan wacana
ekonomi Islam.
Berdasarkan pemetaan di atas, agak sulit
menentukan di mana posisi Adiwarman. Pada satu sisi ia terlibat seara aktif
dalam gerakan pemberdayaan ekonomi Islam melalui institutsi-institusi praktis
(semisal perbankan, menjadi konsultan dan sebagainya), tetapi pada sisi lain ia
juga concern terhadap upaya meletakkan dasar-dasar teoritis bagi
pengembangan ilmu ekonomi Islam di Indonesia. Nampak kesan bahwa Adiwarman berusaha
menyelaraskan antara perjuangan ekonomi Islam secara praktis dan teoritis.
Karena itulah, dapat dikatakan bahwa Adiwarman menempatkan dirinya pada posisi fundamentalis-intelektual-rasional.
3. Pendekatan dan Metode
Membaca tulisan-tulisan Adiwarman, setidaknya
terdapat beberapa pendekatan dan metode yang ia gunakan dalam membangun
keilmuan ekonomi Islam. Pendekatan yang ia gunakan dapat dipetakan menjadi
pendekatan sejarah, pendekatan fiqh dan ekonomi.
Pendekatan sejarah sangat kental dalam berbagai
tulisan Adiwarman. Dalam setiap tulisannya (terutama buku), Adiwarman selalu
berupaya menjelaskan fenomena ekonomi kontemporer dengan merujuk pada sejarah
Islam klasik, terutama pada masa Rasulullah. Selain itu ia juga mengelaborasi
pemikiran-pemikiran sarjana besar muslim klasik dan mencoba merefleksikannya
dalam konteks kekinian, tentu saja menurut perspektif ekonomi.
Mengikuti uraian Dawam Raharjo, sebenarnya ada
dua macam sejarah ekonomi; pertama, sejarah pemikiran ekonomi yang
merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi (pada suatu periode tertentu); kedua,
sejarah perekonomian suatu bangsa atau masyarakat. Sejarah pemikiran
ekonomi memberikan suatu gambaran adanya perbedaan ideologis yang mewarnai
ekonomi suatu masyarakat, tokoh, atau bangsa, dan karenanya dapat diambil
muatan nilai atau prinsip-prinsip dasar di dalamnya bagi pengembangan teoritis,
sementara sejarah perekonomian dibutuhkan berkaitan dengan perencanaan strategi
pembangunan suatu masyarakat. Dari sejarah ekonomi, baik pemikiran maupun
perekonomian, dapat diambil banyak pelajaran ketika akan menentukan arah dan
strategi pembangunan maupun untuk tidak mengulang kesalahan yang terjadi pada
masa lalu.
Khususnya sejarah pemikiran ekonomi, dapat
dibedakan menjadi dua macam; yaitu sejarah yang memaparkan evolusi pemikiran di
mana suatu pemikiran dapat bersumber dari satu atau beberapa tokoh, dan sejarah
yang menceritakan riwayat hidup tokoh-tokoh besar di bidang ekonomi. Yang
pertama menitik beratkan pembahasan pada uraian pemikiran dengan maksud
mengenali ideology pemikiran sementara yang kedua menekankan pembahasan pada
sejarah hidup yang mempengaruhi tokoh yang bersangkutan. Berdasarkan pembedaan
ini, Adiwarman cenderung untuk menggunakan pendekatan sejarah pemikiran ekonomi
maupun sejarah perekonomian. Suatu ketika dengan gamblang ia menceritakan
praktek perekonomian yang berlaku pada masa Rasulullah dan sahabat ataupun era
tertentu di kalangan umat Islam, tetapi pada saat yang lain ia mengkaji beberpa
tokoh ekonomi dan pemikir Islam. Dengan basis sejarah ini, nampaknya Adiwarman
berupaya menemukan landasan akar sejarah yang kuat bagi bangunan teori ekonomi
yang ia susun.
Selain pendekatan sejarah, Adiwarman juga
menggunakan pendekatan fiqh. Dalam pandangannya, fiqh tidak hanya berbicara
pada aspek ‘ubudiyah semata. Fiqh berbicara aspek sosial masyarakat yang
lebih luas, terutama ketika dibingkai dalam wadah fiqhul waqi’iy (fiqh
realitas). Dalam format yang demikian, fiqh lebih merupaka suatu respon atas problematika
kontemporer sebagai suatu upaya menemukan jawaban dan solusi yang tepat bagi
suatu masyarakat tertentu dalam konteks tertentu pula. Karena itu Adiwarman
selalu berpegang pada adagium "li kulli maqam, maqal. Wa likulli maqal,
maqam". (Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan setiap
ungkapan, butuh waktu yang tepat pula).
Pendekatan fiqh yang digunakan Adiwarman tidak
berdiri sendiri. Untuk dapat merespon fenomena ekonomik, prinsip-prinsip fiqh
yang diformulasikan ulama masa lalu ditarik pada perspektif ekonomi.
Sederhananya Adiwarman menggunakan istilah-istilah dan prinsip-prinsip fiqh
dalam membahas masalah-masalah ekonomi. Sebagai contoh ia menjelaskan fenomena
distorsi permintaan dan penawaran (false demand dan false supply)
berdasarkan prinsip al-bai’ an-najsy, ia juga menganalisis monopolic
behaviour berdasarkan teori tadlis dalam fiqh dan masih banyak lagi.
Meskipun begitu, Adiwarman menghindari
melakukan islamisasi ekonomi dengan cara mengambil ekonomi Barat lalu dicari
ayat al-Quran dan haditsnya. Menurutnya hal itu tidak dapat dibenarkan, karena
itu memaksakan al-Qur’an dan hadits cocok dengan pikiran manusia. Ekonomi Islam
bukan ekonomi konvensional lalu ditempeli al-Quran dan hadits. Itulah sebabnya
metode yang ditempuh oleh Adiwaman adalah dengan melakukan "interpretasi
bebas" terhadap teks-teks al-Qur’an, as-sunnah dan fiqh dalam perspektif
ekonomi.
4. Pokok-Pokok Pikiran
a. Redefinisi dan Rancang Bangun Ilmu Ekonomi
Islam
Berbicara tentang ekonomi Islam, selama ini
definisi yang sering ditemukan adalah "ekonomi yang berasaskan al-Qur’an
dan as-Sunnah". Seringkali definisi seperti itu tidak disertai dengan
penjelasan yang tuntas, sehingga terkesan bahwa ekonomi islam adalah ekonomi
apa saja yang dibungkus dengan argumen-argumen dari ayat-ayat atau hadis-hadis
tertentu. Bagi banyak kalangan, penjelasan yang "sekedar itu" tidak
mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Sebab bisa jadi ekonomi konvensional
dapat dikatakan islam(i) sepanjang dapat dilegitimasi oleh ayat tertentu. Dan
itulah yang oleh Adiwarman disebut dengan pemaksaan ayat.
Sadar akan hal itu, Adiwarman menawarkan
pengertian ekonomi Islam sebagai ekonomi yang dibangun di atas nilai-nilai
universal Islam. Nilai-nilai yang ia maksud adalah; tauhid (keesaan), ‘adl
(keadilan), khilafah (pemerintahan), nubuwwah (kenabian) dan ma’ad
(return).
Secara singkat korelasi prinsip-prinsip
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tauhid, konsep keesaan Tuhan memberikan arah bagi
pelaku ekonomi bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, manusia hanyalah
pemegang amanah. Karena itu ada sistem pertanggung jawaban bagi setiap tindakan
ekonomi. Pada akhirnya, dalam skala makro prinsip pertanggungjawaban tersebut
mendorong terwujudnya keadilan ekonomi dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, untuk
dapat merealisasikan keadilan tersebut diperlukan adanya intervensi khilafah
(pemerintah) sebagai regulator. Contoh terbaik terlaksananya sistem
regulasi yang dijalankan pemerintah dalam maslah ekonomi ini dapat merujuk pada
struktur sosial ekonomi pada masa Nabi (nubuwwah), terutama era Madinah.
Tujuan akhir dari semua aktifitas ekonomi yang tersusun secara rapi melalui
sistem tersebut tidak lain adalah maksimisasi hasil (ma’ad, return) yang
tidak hanya menggunakan ukuran materiil, tetapi juga aspek agama.
Prinsip-prinsip di atas, ketika ditarik dalam
konteks ekonomi menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori dan
proposisi ekonomi Islam. Kelima prinsip di atas perlu diderivasikan lagi
menjadi proposisi-proposisi ekonomi Islam yang meliputi; multiple Ownership,
freedom to act, serta social justice. Multiple ownership (kepemilikan
multijenis) merupakan derivasi dari rinsip tauhid, dimana manusia sebagai
pemegang amanah di muka bumi diberi hak dan tanggung jawab yang sama dalam
mengelola sumber daya yang tersedia. Tetapi kebebasan manusia untuk
mengeksploitasi sumber daya dibatasi oleh suatu tujuan bersama, yaitu
terciptanya keadilan sosial (social justice) dan kesejahteraan (return,
ma’ad) yang merata. Sementara proposisi kebebasan berusaha (freedom to
act) membrikan motivasi kepada pelaku ekonomi dalam berusaha, baik dalam
kapasitasnya sebagai individu maupun pemerintah sebagai pemegang regulasi,
sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi.
Selain prinsip-prinsip di atas, teciptanya
sistem ekonomi Islam juga memerlukan suatu tatanan norma atau hukum yang
menjadi payung dan jaminan bagi keberlangsungannya. Dalam istilah Adiwarman,
sistem norma atau hukum ini disebut sebagai akhlak ekonomi Islam. Untuk
menjelaskan bangunan teori yang dirancang oleh Adiwarman di atas dapat
disederhanakan dalam ilustrasi berikut ini:
Akhlak
Multiple Ownership
Tauhid, ‘Adl, Nubuwwah, Khilafah, ma’ad
Freedom to Act
Social justice
Norma ekonomi Islam
Prinsip2 ekonomi ISlam
Teori Ekonmi Islam
b. Integrasi Intelektual dan
"Harakah"; Kampus-Pemerintah-Praktisi
Dalam pandangan Adiwarman, ekonomi Islam tidak
akan bisa bangkit di Indonesia dengan hanya menekankan pada salah satu aspek
pengembangan, teoritis atau praktis. Kedua aspek tersebut arus berjalan
bersamaan, serentak. Gerakan yang demikian disebut oleh Adiwarman sebagai harakah
al iqtisodiyahi al islamiyah al-indonesiyah (gerakan ekonomi
Islam Indonesia). Menurutnya, keberhasilan perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia dalam tahap yang sekarang ini tidak lepas dari model harakah tersebut.
Dengan pendekatan harakah, dimaksudkan sebagai gerakan serentak
masing-masing sel; praktisi, akademis, serta pemerintah.
Menurut Adiwarman, harakah iqtisadiyah sebagai
suatu model pengembangan ekonomi Islam di Indonesia dapat dilakukan melalui
tiga tahap. Pertama, mengupayakan wacana ekonomi Islam masuk ke dalam
kampus melalui kurikulum, atau bentuk-bentuk yanglain (buku, kelompok studi,
seminar dan sebagainya). Tahap pertama ini nampaknya sudah menemukan hasilnya,
terbukti dengan dibukanya beberapa jurusan, fakultas bahkan perguruan tinggi
yang khusus memepelajari ekonomi Islam.
Kedua, pengembangan sistem. Tahap ini bisa dilakukan
melalui pembentukan undang-undang, atau peraturan daerah. Hal ini diperlukan
sekali, sebab tanpa payung hukum yang jelas dan tegas, ekonomi Islam di
Inonesia yang merupakan konsep baru dan tidak didukung oleh permodalan yang
kuat akan sulit berkembang bahkan bisa matisuri. Tahap kedua ini juga telah
berhasil dengan disyahkannya berbagai peraturan yang mendukung beroperasinya
perbankan, pegadaian dan perekonomian Islam di Indonesia.
Ketiga, pengembangan ekonomi ummat. Tahap ketga inilah
yang sangat berat dan tidak bisa diwujudkan hanya melalui jalur-jalur akademik
maupun legislasi. Untuk mencapai tahap ketiga ini diperlukan kepedulian dan
kemauan kuat dari para praktisi agar tetap berkomitmen mempraktekkan ekonomi
Islam dalam setiap kegiatan ekonomi mereka. Dalam hal ini, praktek ekonomi yang
dimaksud tidak hanya berkisar pada masalah riba saja, tetapi bagaimana ekonomi
Islam diwujudkan secara professional dan profitable. Karena itu, menurut
Adiwarman slogan "lebih baik untung sedikit tapi barokah" itu tidak
ada dalam Islam. Islam itu harus "untung besar dan barokah".
D. Beberapa Catatan; Pilihan Antara Islamisasi
dan Sekularisasi Ekonomi
Lazimnya sebuah pemikiran, ide dan gagasan, islamisasi
ekonomi yang digagas Adiwarman dan IIIT-Indonesia tidak sepenuhnya di-amini
semua pihak, bahkan tidak sedikit pula yang menolak, terutama dari kalangan
yang cenderung pada ide sekularisasi.
Jika dipetakan, penolakan terhadap ide
islamisasi ekonomi dikarenakan oleh beberapa alasan, antara lain; pertama, islamisasi
terhadap ilmu pengetahuan (termasuk ilmu ekonomi) selalu sarat dengan nuansa
ideologis-keagamaan (Islam). Dalam hal ini terkesan adanya pemaksaan untuk
menurunkan prinsip-prinsip agama merasuk ke dalam ranah ilmu pengetahuan. Di
sini muncul problem "obyektifitas", "empirik",
"kritis" dan "sekular" yang menjadi ciri khas ilmu
berhadapan dengan "ketundukan", taken for granted, dan
"imani" yang menjadi syarat dalam agama. Jelas sekali
bahwa bagi para penolak ide islamisasi ekonomi, integrasi kedua paradigma yang
berbeda tersebut tidak dimungkinkan, bahkan cenderung berseberangan.
Kedua, pada dasarnya Islam adalah sebuah sistem norma
universal, di mana teks-teks keagamaan mempunyai cakupan menyeluruh tanpa
mengalami sekat-sekat budaya, waktu, geografis bahkan ilmu. Karena itu
islamisasi ekonomi (yang biasanya menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai
rujukan utama dalam menjustifikasi argumen-argumen dan eksistensi ekonomi
Islam) dinilai bertentangan dengan prinsip universal tersebut.
Ketiga, sudah menjadi tradisi di kalangan pemikir
ekonomi Islam bahwa aspek historis menjadi pertimbangan penting ketika hendak
membangun pondasi ilmu ekonomi Islam. Dalam hal ini, praktek mu’amalah yang
beralangsung pada era Islam Klasik (periode Nabi dan Sahabat) dijadikan rujukan
untuk menunjukkan bahwa ekonomi Islam sudah ada dan mempunyai landasan empirik
sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi, ini pula yang menjadi keberatan pihak yang
menolak Islamisasi ekonomi. Sikap "retrospeksi" para "ekonom
Islam" dinilai terlalu berlebihan dan cenderung pada "romantisme
sejarah" karena terlalu mengidealkan sejarah masa lalu tetapi tidak
diikuti upaya rekonstruksi yang memadai. Terbukti bahwa sampai saat ini belum
ditemukan tulisan yang secara obyektif dan komprehensif memberikan gambaran
utuh tentang sejarah ekonomi umat Islam Klasik. Selain itu, keberatan terhadap
idealisasi sejarah ekonomi umat Islam klasik juga dikarenakan adanya perbedaan
konteks budaya, perbedaan peradaban dan sistem sosial-ekonomi ketika itu
(praktek ekonomi Islam klasik dianggap sebagai refleksi budaya dan sistem
sosial-ekonomi masyarakat Arab pra Islam), dengan budaya dan sistem
sosial-ekonomi sekarang ini.
Keberatan-keberatan di ataslah yang selama ini
diajukan oleh kelompok pro-sekularisasi untuk menolak ide ekonomi Islam atau
islamisasi ekonomi. Di sini penting untuk merujuk sebuah nama yang menjadi ikon
kelompok penentang ini, Nur Cholis Madjid. Sebagaimana diketahui, Nurcholis
Madjid lebih bersikap liberal baik dalam pemikiran politik-keagamaan maupun
dalam hal pemikiran ekonomi. Liberal yang dimaksud di sini adalah sikap dasar
dalam memberikan toleransi yang besar kepada mekanisme pasar dan independensi
masyarakat dari negara. Selaras dengan watak pemikirannya yang sekular,
Nurchlois Madjid justru mengajukan "sekulasisasi" ekonomi ketimbang
"islamisasi.
Jika mengamati tulisan-tulisan panggilan
Nurcholis Madjid yang berkaitan dengan isu Islam dan ekonomi, sangat jelas
sekali pesan yang ingin disampaikannya, yakni bahwa Islam tidak mengurusi
hal-hal detil tentang ekonomi. Sebetulnya, ini adalah perluasan dari sikap
dasar dia dalam hal politik-keagamaan, yakni bahwa Islam tak mengurusi hal-hal
detil tentang politik. Sikap dasar inilah yang kemudian menjadi pijakan mengapa
Rektor Paramadina itu, misalnya, menolak gagasan ‘ekonomi Islam’. Hal ini
berbeda dengan, Dawam Rahardjo, yang jelas-jelas mendukung ekonomi Islam.
Bahkan Dawam mendukung ekonomi Islam dalam versi yang sangat ideologis, yakni
ekonomi Islam yang dikembangkan oleh IIIT (International Institute of
Islamic Thought), lembaga Islam yang banyak didanai Arab Saudi, dan dikenal
dengan proyek islamisasi ilmunya.
Sikap dasar di atas sangat penting untuk
melihat bagaimana penyikapan terhadap hubungan agama dan negara berpengaruh dan
memiliki korelasi positif terhadap hubungan ekonomi dan negara. Intelektual
seperti Nurcholis Majid adalah orang yang memiliki sikap tegas tentang hubungan
agama dan negara. Sejak lama ia dikenal sebagai penganjur sekularisasi atau
pemisahan agama dari negara. Menurutnya, agama sebaiknya tidak ikut campur
dalam urusan-urusan negara, dan begitu juga sebaliknya, negara sebaiknya jangan
mencampuri urusan agama. Jika diterjemahkan dalam bahasa ekonomi, kaidah ini
berarti bahwa harus ada pemisahan antara negara dan pasar atau negara dan
ekonomi masyarakat. Negara tidak berhak mengatur bagaimana pasar bekerja,
sebagaimana pasar juga tidak semestinya ‘meminta pertolongan’ dari negara untuk
diatur.
Penting untuk dicatat di sini bahwa intelektual
yang memiliki sikap tegas terhadap sekularisasi politik (pemisahan negara dan
agama) juga memiliki sikap yang tegas dalam ’sekularisasi’ ekonomi (pemisahan
negara dan pasar). Cak Nur dikenal sebagai pendukung setia sekularisasi
politik, dan karenanya, dalam masalah ekonomi, juga tak memiliki beban untuk
menerapkan prinsip sekularisasi itu. Sementara para intelektual yang menolak
atau minimal ragu-ragu dalam mendukung tesis sekularisasi politik, juga akan
mengalami persoalan (baca; penolakan) ketika berbicara tentang ’sekularisasi’
ekonomi.
E. Refleksi Akhir; Ekonomi Islam Indonesia,
Why Not?
Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia
sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1911, yaitu sejak berdirinya
organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini dibidani para pengusaha
dan tokoh Muslim saat itu. Bahkan, jika kita menarik sejarah jauh ke belakang,
jauh sebelum tahun 1911, peran dan kiprah pada santri (umat Islam) dalam dunia
perdagangan cukup besar. Hasil penelitian para ahli sejarah dan antropologi
membuktikan fakta tersebut.
Dalam buku Pedlers and Princess, (1955),
Clifford Gertz, antropolog AS terkemuka, menyatakan bahwa di Jawa, para santri
reformis mempunyai profesi sebagai pedagang atau wirausahawan dengan etos
entrepreneurship yang tinggi. Sementara, dalam buku the Religion of Java
(1960), Geertz menulis, ”Pengusaha santri adalah mereka yang dipengaruhi oleh
etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka bekerja”. Fakta ini
merupakan hasil studi Clifford Gertz dalam menyelidiki siapa di kalangan Muslim
yang memiliki etos entrepreneurship seperti ”Etika Protestantisme”,
sebagaimana dimaksud oleh Max Weber. Dalam penelitian tersebut, Geertz
menemukan, etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki
etos kerja dan kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan yang
dipengaruhi oleh elemen ajaran Hindu dan Budha.
Dapatlah dikatakan perkembangan ekonomi syariah
yang marak dewasa ini merupakan cerminan dan kerinduan umat Islam Indonesia untuk
kembali menghidupkan semangat para entrepreneur Muslim masa silam dalam
dunia bisnis dan perdagangan, tentu saja dalam konteks kemodern-an sekarang
ini. Kerinduan tersebut dapat terobati dengan jalan merefleksikan ulang sejarah
ekonomi muslim pada masa lalu menajadi sebuah teori dan sistem ekonomi Islam.
Selain sebuah teori dan sistem, ekonomi Islam (Indonesia)
adalah sebuah gerakan (dapat disebut juga bagian dari gerakan menegakkan
syari’at Islam). Lazimnya sebuah gerakan, keberhasilannya membutuhkan cara-cara
yang sistematis, gradual dan incremental yang melibatkan semua komponen
dalam masyarakat, baik akademisi, penguasa atau pemerintah maupun praktisi.
Ekonomi Islam tidak hanya memerlukan bangunan teori yang mapan, tetapi juga
harus disertai keterlibatan pemerintah melalui penyediaan peraturan yang
mendukung serta konsistensi para praktisi dalam mengimplementasikan
prinsip-prinsip syari’ah dalam setiap transaksi dan aktivitas ekonomi lainnya.
Menilik sejarah perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia, pandangan kaum sekularis yang berusaha memisahkan antara urusan
agama dengan pemerintahan nampaknya tidak berlaku. Berdirinya BMI tidak lepas
dari perjuangan politik dan parlementer yang dilakukan oleh para cendikiawan
muslim di Indonesia, sehingga perbankan syari’ah dapat beroperasi kemudian
diikuti lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) lainnya, seperti pegadaian
syari’ah, asuransi syari’ah (takaful), Baitul Mal wat tamwil (BMT), Bank
Perkreditasn Rakyat Syari’ah (BPRS) dan sebagainya. Campur tangan politik makin
nyata diperlukan dengan disyahkannya UU perbankan syari’ah, PSAK syari’ah, Blue
print perbankan syari’ah yang dikeluarkan BI dan sebagainya. Berbagai
peraturan tersebut harus diakui telah melempangkan jalan bagi pengembangan
ekonomi Islam di Indonesia untuk masa mendatang. Yang paling penting adalah
komitmen bersama dan kepedulian semua pihak untuk membantu terlaksananya
ekonomi Islam di Indonesia. Jadi, ekonomi Islam, why not?
Daftar Pustaka
Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih
dan Keuangan, ed. 2, cet. 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
_______, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, The
International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT-I), Jakarta, 2001.
_______, Ekonomi Mikro ISlami, The
International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT-I), Jakarta
, 2002.
_______, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Makro, The
International Institute of Islamic Thought
Indonesia (IIIT-I), Jakarta, 2002.
_______, Ekonomi Islam, Suatu Kajian
Kontemporer, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2004.
_______. "Pemikiran Ekonomi Islam
Kontemporer", dalam Ma’ad; Buletin Kajian Ekonomi Syari’ah, diterbitkan
oleh Shariah Economics Forum (SEF) Universitas Gajahmada, edisi: 2/II 8 Juni
2001www.hidayatullah.com, edisi Jumat, 14 Pebruari 2003.

Post a Comment for "Redefinisi Keilmuan Ekonomi Islam Indonesia "