Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ilmu Kalam




A.    SYEKH MUHAMMAD ABDUH

  1. Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr Kabupaten Al-Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. Ia bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan[1] kekerasan yang diterapkan penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabakan penduduk berpindah-pindah tempat untuk menghindarinya. Abduh sendiri dilahirkan dalam kondisiyang penuh kecemasan ini.[2]
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tanta belakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran di sana,  sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun di sana. Ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Ketika kembali ke desa, ia dikawinkan. Pada saat itu ia berumur 16 tahun. Semula ia bersikerasuntuk tidak melanjutkan studiya, tetapi ia kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwis, yang  banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya itu, Abduh berkata, “… ia telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan …”[3]
Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan februari 1866.[4] Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Ia selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan ia pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan politik. Artikel-artikel pembaharuannya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[5]
Abduh menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga dituduh ikut campur di dalamnya. Ia dibuang keluar kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota, keudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan  Mesir, Al-Waqa’i Al-Mishriyyah. Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, disamping berita-berita resmi.[6]
Setelah revolusi Urabi1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di negeri ini, ia menetap selama setahun. Kemudian ia menyusul gurunya, Al-Afghani, yang ketika itu ia berada di Paris. Di sana mereka menertibkan surat kabar Al-Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.[7]            Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai ia meninggal dunia tahun 1905.

  1. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh

a.      Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:[8]
           
  1. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya Salaf Al-Ummah (Ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
  2. memperbiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.

Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi prkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat digambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mmengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan  hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (Jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.[9]
Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimmpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah.[10]


Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
1.      Tuhan dan sifat-sifatnya;
2.      Keberadaan hidup di Akhirat;
3.      kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan mmelakukan perbuatann jahat;
4.      Kewajiban manusia mmengenal Tuhan;
5.      Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di Akhirat;
6.      Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.[11]
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (Al-mu’in). kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan.[12] Dengan demikian, wahyu berfungsi bagi Abduh sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam, katanya, adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.[13]


b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat ini dihilangkan dari dirinnya, ia bukan manusia lagi,, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan  akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[14]
Karena manusia menurut hokum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang dipaksakan manusia atau jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasann mutlak sebagai orang  yang angkuh.[15]

            c. sifat-sifat Tuhan  
            Dalam Risalah, ia mmenyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia.[16] Sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat  bahwa Abduh cenderug kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[17]
           
            d. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh Sunnatullah secara umum. Ia tidak mugkin menyimpang dari Sunnatullah yang telah ditetapkannya.
Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan Sunnatulllah yang diciptkan-Nya  untuk mengatur alam ini.[18]

e. Keadilan Tuhan
            karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satu pun ciptaan Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan hanya dari segi kemahasempurnaan-Nya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.[19]    
           
            f. Antropomorfisme
            Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursi berarti pengetahuan.[20]       

            g. Melihat Tuhan
            Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang-orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang  tertentu  di akhirat.[21] 

            h. Perbuatan Tuhan
            karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[22]

  1. HARUN NASUTION
1. Riwayat Hidup Harun Nasution                                                                                                                          

            Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan  IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralis Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rector sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.[23]  
    


2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
      a. Peranan Akal
Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkkan makhluk lain. Bertambah lemah akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.”[24]
      Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasuiton, terutama dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah  Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad Abduh.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukankah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam sendiri maupun dikalangan non Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional?[25]

b. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarya dibangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga dimana saja) adalah disebabkan ”ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lainnya) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determininisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori mmodernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalamm khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[26]

c. Hubungan Akal dan Wahyu
ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[27]
Dalam pemikiran Islam yang dipertentangkan sebernanya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dalam penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pandapat akal ulama lain.


[1] Quriaish Shihab, studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah Bandung, 1994, hlm. 12; Versi lain mengatakan bahwa Abduh lahir di Mesir Hilir dan menetap di Mahallah Nashr setelah lari dari ancaman para penguasa Muhammad Ali. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, PT. Bulan Bintang. Jakarta, hlm. 68.
[2] Nasution, loc. Cit.
[3] Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age: 1798-1939, Cambridge University Press, 1993, hlm. 131.
[4] Kendatipun Abduh tidak puas dengan sistem pengajaran Al-Azhar, di sana ia beruntung dapat berjumpa dengan Syekh Hasan Ath-Thahawi yang mengajarinya kitab-kitab filsafat Ibn Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain-lain. Lihat Syihab, op.cit.hlm.13.
[5]  Hourani, op. cit., hlm. 132; Shihab, op. cit., hlm 14.
[6] Nasution, op.cit., hlm. 61; Shihab, loc. Cit..,; Hourani. op.cit., hlm. 133.
[7] Diantara kunjungannya adalah mendiskusikan masalah kemerdekaan Mesir dengan para diplomat Inggris. Di sini pula Abduh berkenalan dengan Wilfrid Scawen Bunt, seorang penulis Inggris yang berpartisipasi atas nasib Mesir.
[8]  M.Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hlm. 19.
[9]  Sayyid Quthub, Khasha ‘ish At-Tashawwur Al-Islami, t.t, hlm. 19.
[10] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1987, hlm. 57.
[11] Nasution, Pebaharuan…, op. cit.,hlm. 74.
[12] Nasution, Muhammad…,op. cit. hlm. 58-61.
[13] Pattrick Bannerman, Islam in Perspective: Guide to Islamic Society, politics and Law, Routledge London and New York for the Royal Institute of International Affairs, London, hlm. 132.
[14] Nasution, Muhammad…,op.cit., hal. 65.
[15] Ibid., hlm. 66.
[16] Ibid., hlm. 71. 

[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 75 dan 77
[19] Ibid.,hlm.  78-79.
[20] Ibid., hlm. 80.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hlm, 85.
[23] Ayumardi Azra, “jaringan ‘Ulama Timur’ Tengah dan Indonesia abad ke-17”, dalam Ibid., hlm. 359.
[24] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta,1983, hlm. 56.
[25] Harun Nasution., Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1980, hlm. 101.
[26] Mansoer Faqih, “Mencari Teologi Tertindas (khimat dan Kritik untuk Guruku Prof.Harun Nasution”, dalam Suminto, op. cit., hlm. 167.
[27] Lihat pada Nasution, op., cit., hlm. 150.

Post a Comment for "Ilmu Kalam"