Ilmu Kalam
A. SYEKH MUHAMMAD ABDUH
- Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad bin Abduh
bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr Kabupaten Al-Buhairah,
Mesir, pada tahun 1849 M. Ia bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan
pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan[1]
kekerasan yang diterapkan penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak
menyebabakan penduduk berpindah-pindah tempat untuk menghindarinya. Abduh
sendiri dilahirkan dalam kondisiyang penuh kecemasan ini.[2]
Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan
pamannya Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan februari 1866.[4]
Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi
mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Ia selalu menghadiri
pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan ia pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani.
Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan
politik. Artikel-artikel pembaharuannya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[5]
Abduh menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877
dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar
di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani diusir
dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan perlawanan
terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga dituduh ikut campur di dalamnya. Ia dibuang
keluar kota
Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota, keudian
diangkat menjadi redaktur surat
kabar resmi pemerintahan Mesir, Al-Waqa’i Al-Mishriyyah. Pada waktu itu
kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu
memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, disamping
berita-berita resmi.[6]
Setelah revolusi Urabi1882 (yang berakhir dengan
kegagalan), Abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga
pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan
memberi hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih
Suriah. Di negeri ini, ia menetap selama setahun. Kemudian ia menyusul gurunya,
Al-Afghani, yang ketika itu ia berada di Paris. Di sana
mereka menertibkan surat
kabar Al-Urwah Al-Wutsqa, yang
bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.
Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat
kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati
kepada rakyat Mesir.[7]
Tahun 1899, Abduh diangkat
menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai ia meninggal dunia
tahun 1905.
- Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi
Wahyu
Ada dua persoalan
pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri,
yaitu:[8]
- Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya Salaf Al-Ummah (Ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
- memperbiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi
prkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub,
kondisi umat Islam saat itu dapat digambarkan sebagai “suatu masyarakat yang
beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mmengabaikan peranan akal dalam
memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup
dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (Jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.[9]
Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Muhammad Abduh
memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang
diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimmpulkan bahwa Muhammad Abduh
memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah.[10]
Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut
ini:
1.
Tuhan dan sifat-sifatnya;
2.
Keberadaan hidup di Akhirat;
3.
kebahagiaan jiwa di akhirat
bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan mmelakukan
perbuatann jahat;
4.
Kewajiban manusia mmengenal
Tuhan;
5.
Kewajiban manusia untuk berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di Akhirat;
6.
Hukum-hukum mengenai
kewajiban-kewajiban itu.[11]
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang
peranan akal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya.
Baginya, wahyu adalah penolong (Al-mu’in).
kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu,
katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam
akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang
dibawanya; menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan.[12]
Dengan demikian, wahyu berfungsi bagi Abduh sebagai konfirmasi, yaitu untuk
menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal
merupakan salah satu dasar Islam. Iman seorang tidak sempurna kalau tidak
didasarkan pada akal. Islam, katanya, adalah agama yang pertama kali mengikat
persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi
Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan
dengan akal. Kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya,
terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan
interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.[13]
b. Kebebasan Manusia dan
Fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya piker, manusia juga
mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam
diri manusia. Kalau sifat ini dihilangkan dari dirinnya, ia bukan manusia
lagi,, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian
mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan
perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[14]
Karena manusia menurut hokum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam
menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang
dipaksakan manusia atau jabariyah
tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia, menurutnya,
mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki
kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai
kebebasann mutlak sebagai orang yang
angkuh.[15]
c. sifat-sifat Tuhan
Dalam Risalah, ia
mmenyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk
esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar
kemampuan manusia.[16]
Sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat
bahwa Abduh cenderug kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan
walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[17]
d. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh
melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak
mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh Sunnatullah secara umum. Ia tidak mugkin
menyimpang dari Sunnatullah yang
telah ditetapkannya.
Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan
kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan Sunnatulllah yang diciptkan-Nya
untuk mengatur alam ini.[18]
e. Keadilan Tuhan
karena memberikan
daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan
untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlak
Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat
bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satu pun ciptaan
Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah keadilan Tuhan,
ia memandangnya bukan hanya dari segi kemahasempurnaan-Nya, tetapi juga dari
pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak dapat diberikan kepada
Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam
semesta.[19]
f. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam
alam rohani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak
mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di
alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk,
dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang
Arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursi berarti pengetahuan.[20]
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh
tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat
dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya
menyebutkan bahwa orang-orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang
menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun
dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya
kepada orang-orang tertentu di akhirat.[21]
h. Perbuatan Tuhan
karena berpendapat
bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat
apa yang terbaik bagi manusia.[22]
- HARUN NASUTION
1. Riwayat Hidup
Harun Nasution
Harun Nasution
lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya Abdul Jabar
Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Harun Nasution
adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk
dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh
kedua dasawarsa 70-an. Sentralis Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu
saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan
formalnya sebagai rector sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam
kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut
sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal
menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.[23]
2. Pemikiran
Kalam Harun Nasution
a. Peranan Akal
Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu
aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang
ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “Akal
melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan
untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal
manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkkan makhluk lain.
Bertambah lemah akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupanya menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut.”[24]
Tema Islam
agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun
Nasuiton, terutama dalam buku Akal dan
Wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad
Abduh.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan
banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja,
tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian
akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukankah tidak ada dasarnya
kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam sendiri maupun dikalangan non
Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional?[25]
b. Pembaharuan
Teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun
Nasution, pada dasarya dibangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran
umat Islam Indonesia (juga dimana saja) adalah disebabkan ”ada yang salah”
dalam teologi mereka. Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain
pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan
lainnya) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati.
Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik,
irasional, pre-determininisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka
menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah
nasib umat Islam menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi
mereka menuju teologi yang berwatak free-will,
rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori mmodernisasi ini
selanjutnya menemukan teologi dalamm khasanah Islam klasik sendiri yakni
teologi Mu’tazilah.[26]
c. Hubungan Akal
dan Wahyu
ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang
menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang beriman tidak perlu menerima bahwa
wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua
permasalahan keagamaan.[27]
Dalam pemikiran Islam yang dipertentangkan
sebernanya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu
dalam penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan
sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pandapat akal
ulama lain.
[1] Quriaish Shihab, studi Kritis
Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah Bandung, 1994, hlm. 12; Versi lain
mengatakan bahwa Abduh lahir di Mesir Hilir dan menetap di Mahallah Nashr
setelah lari dari ancaman para penguasa Muhammad Ali. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, PT. Bulan Bintang. Jakarta,
hlm. 68.
[2] Nasution, loc. Cit.
[3] Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age: 1798-1939,
Cambridge University Press, 1993, hlm. 131.
[4] Kendatipun Abduh tidak puas dengan sistem pengajaran Al-Azhar, di sana ia beruntung dapat
berjumpa dengan Syekh Hasan Ath-Thahawi yang mengajarinya kitab-kitab filsafat
Ibn Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain-lain. Lihat Syihab,
op.cit.hlm.13.
[5] Hourani, op. cit., hlm. 132; Shihab, op. cit., hlm 14.
[6] Nasution, op.cit., hlm.
61; Shihab, loc. Cit..,; Hourani. op.cit., hlm. 133.
[7] Diantara kunjungannya adalah mendiskusikan masalah kemerdekaan
Mesir dengan para diplomat Inggris. Di sini pula Abduh berkenalan dengan
Wilfrid Scawen Bunt, seorang penulis Inggris yang berpartisipasi atas nasib
Mesir.
[8] M.Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka
Hidayah, Bandung,
1994, hlm. 19.
[9] Sayyid Quthub, Khasha ‘ish At-Tashawwur Al-Islami, t.t,
hlm. 19.
[10] Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1987, hlm. 57.
[11] Nasution, Pebaharuan…, op. cit.,hlm. 74.
[12] Nasution, Muhammad…,op. cit. hlm.
58-61.
[13] Pattrick Bannerman, Islam in
Perspective: Guide to Islamic Society, politics and Law, Routledge London
and New York for the Royal Institute of International
Affairs, London,
hlm. 132.
[14] Nasution, Muhammad…,op.cit.,
hal. 65.
[15] Ibid., hlm. 66.
[16] Ibid., hlm. 71.
[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 75 dan 77
[19] Ibid.,hlm. 78-79.
[20] Ibid., hlm. 80.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hlm, 85.
[23] Ayumardi Azra, “jaringan ‘Ulama Timur’ Tengah dan Indonesia abad ke-17”, dalam Ibid., hlm. 359.
[24] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta,1983, hlm. 56.
[25] Harun Nasution., Akal dan
Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta,
1980, hlm. 101.
[26] Mansoer Faqih, “Mencari Teologi Tertindas (khimat dan Kritik untuk
Guruku Prof.Harun Nasution”, dalam Suminto, op.
cit., hlm. 167.
[27] Lihat pada Nasution, op.,
cit., hlm. 150.
Post a Comment for "Ilmu Kalam"