Ba’i Istisna’ (Fiqh Muamalah)
A. Pengertian Ba’i Istisna’
Ba’i Istisna’ adalah
memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu
untuk pembeli atau pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang
merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan dalam syariat[1].
Ketentuan umum pembiayaan istishna’ adalah spesifikasi barang dan pesanan harus
jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlahnya. Harga jual yang telah
disepakati dicantumkan dalam akad istishna’
dan tidak boleh berubah selama berlakunya
akad. Jika terjadi perubahan dari criteria pesanan dan terjadi perubahan harga
setelah akad ditandatangani, seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah[2]. (Baca Juga: Pengertian Fiqh Mu'amalah)
Kontrak istishna’ menciptakan kewajiban moral bagi perusahaan untuk memproduksi barang pesanan pembeli. Sebelum perusahaan memulai produksinya, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan sebelumnya kepada pihak yang lain. Namun demikian, apabila perusahaan sudah mulai memproduksinya, kontrak istishna tidak dapat diputuskan secara sepihak[3]. Dan apabila objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasinya, maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan ( khiyar ) untuk melanjutkan atau membatalkan[4]. Ba’I Istishna dibolehkan sesuai dengan keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia NO : 06/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’. (Baca Juga: Pengertian Fiqh Mu'amalah)
B. Landasan Hukum Ba’i
Istishna’
1. Hadist Nabi
riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf :
Yang artinya :
“ perdamaian dapat dilakukan di
antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram;dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. “[5]
3. Kaidah Fiqh
:
Yang artinya :
“ Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya “[6]
C. Rukun Dan Syarat Ba’i Istishna’
Dalam jual beli istishna’, terdapat rukun
yang harus dipenuhi, (mustashni’)
yakni pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan,
barang/objek (mashnu’) dan sighat (ijab qabul). Disamping itu, ulama juga
menentukan beberapa syarat untuk menentukan sahnya jual beli istishna’. Syarat
yang diajukan ulama untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna’
adalah:
- Adanya kejelasan jenis, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus di ketahui spesifikasinya.
- Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dalam hubungan antarmanusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam kehidupan manusia, seperti barang property, barang industry dan lainnya.
- Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu peyerahan barang ditetapakan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam, menurut pandangan Abu Hanifah.[7]
Ketentuan Objek
(barang) dalam istishna’ :
·
Harus jelas ciri-cirinya dan
dapat diakui sebagai hutang.
·
Harus dapat dijelaskan
spesifikasinya.
·
Penyerahannya dilakukan
kemudian.
·
Waktu dan tempat penyerahan
barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
·
Pembeli tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya[8]
Sebagai bentuk
jual beli forward, istishna’ mirip dengan salam. Namun ada beberapa perbedaan
di antara keduanya, antara lain :
ü Objek istishna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek
salam bisa untuk barang apa saja,baik haru diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi terlebih dahulu.
ü Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan harga
dalam akad istishna tidak harus di bayar penuh di muka, melainkan dapat
dicicil atau dibayar di belakang.
ü Akad salam efektif tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara
dalam istishna akad dapat diputuskan
sebelum perusahaan mulai
memproduksi.
ü Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian terpenting dari akad
salam , namun dalam akad istishna tidak merupakan keharusan.[9]
D. Aplikasi Istishna’ Saat Ini
Pada praktiknya, akad istishna yang digunakan pada KPR adalah istishna
paralel. Maksudnya, konsumen yang membutuhkan rumah datang ke bank dan memesan
sebuah rumah dengan spesifikasi tertentu. Konsumen dan bank lalu membuat
kesepakatan serah-terima rumah, harga jual, dan mekanisme pembayarannya. Oleh
karena bank bukan merupakan perusahaan pengembang, maka bank memesan lagi ke
pangembang agar dibuatkan rumah yang sama yang dipesan oleh konsumen. Inilah
yang dimaksud dengan istishna paralel, yaitu konsumen memesan rumah pada bank,
dan bank memesan lagi ke pangembang untuk dibuatkan rumah. Dengan akad tersebut
jual-beli dapat dilaksanakan walaupun objeknya belum ada.
(Baca juga: Kiat - kiat mudah agar diterima dengan cepat oleh Google Adsense)
[1] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2008 ). Hal: 96
[2] Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan (
PT RajaGrafindo Persada. 2010 ). Hal: 100
[3] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2008 ). Hal: 97
[4] Pusat Pengkajian hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (
Jakarta : Kencana. 2009 ).hal : 43
[6] Ibid, hal 37
[7] Zuhaili,1989,jilid IV, hal. 633
[8] Ibid, hal 38

Post a Comment for "Ba’i Istisna’ (Fiqh Muamalah)"