Hukum Pidana
A. Pengertian
Penyertaan Tindak Pidana (Concursus/Samenloop)
Pada dasarnya
yang dimaksud dengan penyertaan tindak pidana ialah terjadinya dua atau lebih
tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali
belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana
berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Dapat juga di dalam bentuk concursus
itu terjadi dua atau lebih tindak pidana oleh dua atau lebih orang.
Pada
pengulangan juga terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh
satu orang. Perbedaan pokoknya adalah bahwa pada pengulangan tindak pidana yang
dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana
pada si pembuat/pelaku, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya.
Sedangkan pada penyertaan (concursus) syarat seperti pada pengulangan tidaklah
diperlukan. Pengulangan tindak pidana lebih familiar dengan sebutan recidive.
Jadi intinya, yang terpenting adalah ada lebih dari satu tindak pidana dan
diantara tindak pidana tersebut belum diputus hakim.
B. Syarat – Syarat Penyertaan
Tindak Pidana (Concursus/Samenloop)
·
Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
·
Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang
(atau dua orang dalam hal penyertaan);
·
Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
·
Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
C.
Sistem Pemidanaan
Pada dasarnya teori penyertaan tindak pidana dimaksudkan untuk
menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel
pemidanaan, yaitu:
1. Stelsel Absorpsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut
sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat
walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
2. Stelsel Kumulasi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini
tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang
itu semuanya dijatuhkan.
3. Absorpsi Diperberat
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut
stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni
yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah
sepertiganya (1/3).
4. Kumulasi Terbatas
Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan
beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri,
maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing
delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu
jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah sepertiga (1/3).
D. Bentuk Penyertaan
Tindak Pidana (Concursus/Samenloop)
Penyertaan
Tindak Pidana (Concursus/Samenloop)
memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1. Penyertaan
Tindak Pidana dalam satu perbuatan (Eendaadse
Samenloop/Concursus Idealis)
Yaitu apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu
perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah
melakukan beberapa tindak pidana.Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang
bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan
masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu
di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
Jika suatu
perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang
dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad
barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu
tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP adalah tindakan nyata atau tindakan
materiil.
Taverne bertolak belakang dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu
terdiri dari dua/lebih tindakan yang berdiri sendiri yang mempunyai sifat yang
berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan
masing-masing.
Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat
(1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih dapat dibayangkan
kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.
Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang
terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa
yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan. Maka dapat
disimpulkan bahwa dalam prakteknya Hoge Raad menyelesaikan perkara
secara kasuistis.
Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah
satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda).
Sedangkan
Pompe mengutarakan bahwa apabila
seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus
dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari
satu tujuan atau cukupan.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) sesuai dengan asas lex spesialis
derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan
ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah jika
pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada
pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu
kekhususan.
Pemidanaan dalam hal concursus idealis menggunakan stelsel absorpsi
murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.
2.
Penyertaan
Tindak Pidana dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse
Samenloop/concursus realis)
Yaitu apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan
tindak pidana berdiri sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili
sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP.
Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis
dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana kejahatan
termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat
dalam pasal 70 dan 70 bis.
Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam
dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi
diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga
menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang
diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena
perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu
sejenis atau tidak.
Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa
pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan
kejahatan dan pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan
kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan
pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka
kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing
pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa
jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi
pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan
mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan.
Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai
pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan
hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara
maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
3.
Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan
itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang
hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu
harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64
KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa
pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan
pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa
perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu
delik.
Sedangkan Simons mengatakan
bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling
sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus
realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan
pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu
pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64
KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai
pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun
ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
·
Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu
kehendak jahat;
·
Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
·
Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau
lama.
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat
tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/
formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/
formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari sau kehendak jahat tersebut.
Daftar
Pustaka
Kanter,
E.Y. dan S.R. Sianturi.2002.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika.
Loqman,
Loebby. 1996.Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana.
Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Soesilo,
R.1993.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya
Post a Comment for "Hukum Pidana"